31 Oktober 2010

Tips Penulisan Bagian 2

bagian sebelumnya
Bekerja dengan Kata Kerja

Menulis detil tak bisa dilakukan dengan kata sifat. Karena itu, lupakan kata sifat. Bekerjalah dengan kata kerja.

menulis_blog APA yang bisa kita gambarkan saat menulis orang yang marah? Mungkin ini bayangan dalam benak kita: wajahnya merah padam, matanya melotot, lantas keluarlah semua jenis bintang dari mulutnya. Maksudnya cacian.

Inilah yang saya sebut dengan kata kerja. Bahkan saya akan menambahi kalimat itu dengan, “anjing kurap. Babi,” jika orang yang marah itu memang mengeluarkan cacian kata dari jenis-jenis binatang tersebut. Mengapa tidak? Etiskah?

Bagi saya tak mengapa. Asalkan kita tidak menulis tentang ketersinggungan Suku, Agama dan Ras. Berbahaya. Bisa menyulut konflik.

Menulis sifat pemarah bisa kita lakukan dalam sebuah peristiwa yang melibatkan orang dengan sifat tersebut. Misalkan saat kita menulis tentang peristiwa yang sering disebut dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Gambaran seorang suami yang memukul istrinya bisa kita dahului dengan peristiwa ketika suami itu marah-marah.

Jika istri tersebut kita wawancarai menyebut suaminya memiliki sifat pemarah, mintalah ia untuk bercerita kejadian yang menggambarkan kemarahan si suami.
Misalkan sehari sebelum peristiwa pemukulan itu terjadi, si suami tiba ke rumah langsung marah-marah gara-gara persoalan sepele. Persoalan itu, misalnya saja, masakan si istri terlalu asin.

== Inilah gambarannya: Sore itu si istri menghidangkan makanan sesaat setelah suaminya pulang dari kantor. Di meja makan si istri menunggu suaminya yang sedang berganti pakaian. Beberapa saat kemudian si suami keluar kamar menuju meja makan. Tanpa duduk, si suami mencoba sayur yang ada di panci. Tiba-tiba dahinya berkernyit. Lantas meja makan digebrak. Piring dilempar hingga, “praaang,” pecah berantakan di lantai. Sayur di panci ditepisnya hingga isinya berjatuhan. Akhir-akhir ini si suami memang sering marah-marah dengan alasan yang dibuat-buat. ==

Kalimat terakhir dalam contoh tersebut baru disertakan setelah ada penggambaran tentang sesuatu yang terjadi. Detil bukan?

Menggambarkan sesuatu dengan detil tak bisa kita lakukan dengan kata sifat. Misalkan lagi saat kita menulis tentang suatu konser. Tak cukup dengan menulis: pertunjukan semalam heboh. Dahsyat.

Pembaca tentu akan bertanya-tanya, hebohnya bagaimana? Dahsyatnya seperti apa?

Berbeda saat kita menceritakan sesuatu dengan media visual, semisal video. Tanpa bercerita pun orang sudah tahu apa yang terjadi dengan menonton video.
Karena itulah media televisi lebih membutuhkan sedikit kalimat ketimbang media cetak. Bahkan sering kita temui media televisi hanya memutar gambar kejadian tanpa memberikan narasi tentang suatu peristiwa.

Sifat-sifat sesuatu butuh penggambaran lebih jelas. Dengan menjelaskan sifat sesuatu, tulisan akan menjadi panjang, dan tentunya semakin menarik. (bersambung bagian 3)

0 comments:

Posting Komentar