31 Oktober 2010

Tips Penulisan Bagian 1

Detil dengan Kalimat Pendek

Mentor saya pernah mengatakan, “menulislah dengan kalimat pendek, dan detil.”

menulis2 MENJADI wartawan sejak 2002, baru 3 tahun sesudahnya saya merasa telah bisa menulis. Sebelumnya saya merasa tak ada perkembangan berarti dalam tulisan saya. Maklumlah, media koran tempat saya bekerja tak mengajari banyak tentang menulis yang enak dibaca.

Menjalani training internal selama 2 minggu, saya langsung diterjunkan untuk mencari berita. Kembali ke redaksi, saya disuruh untuk menulis yang saya bisa. Padahal benar-benar blank. Tak tahu apa yang mau ditulis.

Saya lupa apa yang bisa saya tulis waktu pertama kali itu. Yang jelas, saya tak bisa menulis banyak. Mungkin 4-5 paragraf. Baru esoknya saya membaca hasil tulisan saya setelah diedit redaktur.

Pelan-pelan saya mulai belajar dari hasil editan itu. Saran dari Pemimpin Redaksi-nya memang menganjurkan seperti itu. Tak banyak saran yang diberikan.

Akhirnya saya mulai belajar dari media-media nasional. Ketika itu saya coba langganan Kompas dan Bisnis Indonesia. Koran yang terakhir ini saya jadikan panduan untuk menulis tentang ekonomi bisnis, bidang dimana saya diterjunkan di situ oleh redaksi.

Namun, tetap saja saya belum mampu mengembangkan tulisan saya. Saat itu yang penting saya bisa menulis agak panjang dan naik cetak. Jika tak naik, protes saya akan keluar.

Saya ingat, pernah menulis rubrik opini di halaman koran itu. Oleh redakturnya dikasih naik. Soalnya selalu saya tanyakan. Tapi saya tak ingat, bagaimana saya bisa menulis opini tentang pendidikan. Mungkin saya sedikit banyak selalu berpikir tentang bagaimana pendidikan itu seharusnya.

Tiga tahun kemudian ada kesempatan dari Yayasan Pantau yang didirikan Andreas Harsono mengadakan pelatihan di Jayapura. Sponsornya; PT Freeport Indonesia. Wartawan di Jayapura diberikan kesempatan untuk ikut dengan syarat mengirimkan contoh karya liputannya. Saya pun dengan bersemangat mengirimkan beberapa tulisan saya ke Pantau.

Singkatnya saya ikut pelatihan yang diberikan tak sampai satu minggu itu. Dari situlah saya mengenal 9 elemen jurnalistik dan menulis narasi, yang yayasan tersebut menamakannya dengan Jurnalisme Sastrawi.
Belakangan saya menemukan istilah lain dari Jurnalisme Sastrawi. Almarhum Budiman S Hartoyo mengenalkannya dengan sebutan Penulisan Leterair, dan ia tak sepakat dengan penamaan Jurnalisme Sastrawi.

Mentor saya, Andreas Harsono mengatakan, jurnalisme sastrawi bukanlah penulisan dalam bentuk sastra yang umumnya mendayu-dayu.

Tetap mengacu pada fakta, itulah beda antara jurnalisme dengan karya sastra. Jurnalisme tetaplah jurnalisme. Bukan penulisan fiktif atau karangan yang biasa kita temui dalam novel, cerita pendek atau cerita bersambung. Jurnalisme adalah penulisan non fiktif. Tetap faktual dan aktual. Kejadiannya ada. Pelaku-pelakunya pun dapat ditemui. Hanya saja menulisnya dalam bentuk narasi.

Menulis dalam bentuk narasi bisa dikatakan: menulis dengan bercerita secara detil. Pengambaran tentang peristiwa dituliskan sejelas mungkin. Saya mengibaratkan dengan merekam kejadian melalui video. Lalu kita tuliskan apa yang kita lihat dalam video itu tentang kejadian tersebut. Mulai dari ekspresi orang, mimik muka orang, warna kulitnya, tinggi badannya, berat badannya hingga aksi orang tersebut. Pokoknya secara detil.
Cara ini pernah saya lakukan saat menulis liputan tentang peristiwa Abepura Berdarah 16 Maret 2006 yang videonya ada dalam laman ini.

Menulis detil membutuhkan perbendaharaan kosakata yang cukup banyak. Saya belajar dari Majalah Tempo untuk kosakata ini. Sering saya dapatkan kosakata baru, misal: berkelindan, lindap, banal, sengkarut, centang-perenang, anomali, lingir, kiwari, karut, menguar, berjelaga, dan masih banyak lagi. Saya mencatat kata-kata baru itu dalam handphone saya, lalu saya cari artinya di kamus online.

Selain perbendaharaan kata, menulis detil membutuhkan pengerahan beberapa panca indera untuk merekam suatu kejadian. Contohnya saja saat kita menulis kuliner. Apa jadinya hasil tulisan kuliner tanpa menyertakan rasa dari makanan gara-garanya kita tak mengunakan indera pengecap rasa. Tentu akan hambar kita membacanya.

Soal indera pengecap rasa ini, Bondan Winarno jagonya. Wartawan yang kini lebih banyak liputan tentang kuliner dan terkenal dengan “Mak Nyus-nya” itu jago memberikan gambaran detil soal makanan.

Selain pengecap rasa, indera penciuman kadang dibutuhkan dalam menulis detil. Misalnya saja tentang bau anyir darah saat liputan peristiwa pembunuhan.

Pengerahan indera-indera yang kita miliki sangat penting dalam menulis detil. Gambaran yang kita berikan dalam penulisan akan tampak nyata. Intinya: Bagaimana menyuguhkan ke pembaca tentang suatu peristiwa yang bisa ia bayangkan dalam pelupuk matanya.

Selain detil, menulis yang enak bisa kita suguhkan dengan kalimat-kalimat pendek. Untuk yang satu ini saya mengandalkan suatu ‘rasa’ saat membacanya ulang. ‘Rasa’ ini juga akan memberikan ketepatan kita dalam menempatkan tanda baca koma.

Membuat kalimat panjang akan menghabiskan energi pembaca. Coba saja kita membaca satu kalimat yang di dalamnya berisi 40 kata atau lebih. Nafas akan habis saat membacanya, bukan?

Kalimat yang efektif adalah kalimat yang jelas maksudnya dan tidak berulang maknanya. Jika kita membaca satu kalimat dan bisa kita pecah jadi dua kalimat, sebaiknya pecah saja. Karena itu, saya sering membaca ulang satu kalimat yang saya buat. Apakah bisa saya pecah jadi dua tanpa menghilangkan unsur kejelasannya dan saling melengkapi, atau tidak.

Beberapa penulis bahkan kerap membuat satu kata atau dua kata untuk menyampaikan sesuatu. Biasanya penyampaian ini didului bagian yang kalimat-kalimatnya menjelaskan tentang sesuatu. Lalu dilengkapi dengan satu atau dua kata.

Ukuran berapa kata dalam membuat kalimat saya pikir tidaklah terlalu penting.  Ada pada masing-masing penulis. Karena saya pernah menjumpai tulisan Mochtar Lubis, wartawan senior Indonesia yang kalimatnya cukup panjang dengan beberapa bagian koma di dalamnya.

Bagi saya adalah jangan bertele-tele dalam menulis satu kalimat dan jangan membuat nafas pembaca habis untuk menyelesaikan kalimat tersebut. Buat satu kalimat dengan kalimat lainnya saling melengkapi, dan jangan mengulang maknanya. (bagian 2) (bagian 3)

0 comments:

Posting Komentar