11 September 2008

Jati Diri - Tentang Ikhlas

Menuntut Ilmu Ikhlas


KENALKAN sebuah ketulusan. Datang dari jiwa yang tak pernah meminta. Hanya memberi dan memberi. Tangan tak pernah sekalipun menengadah, kecuali saat berdoa. Semata-mata bingkisan kepada Tuhan.

Dalam perenungan untuk mencari sosok jati diri seorang anak manusia, saya sering duduk tepekur memikirkan seorang sahabat yang bernama ketulusan. Ia juga terkenal dengan nama ikhlas.

Sahabat ini memiliki ilmu yang lebih tinggi dari sekedar jujur. Ia mampu menjelajahi dunia hati yang bisa melewati batas ruang dan waktu. Ia kerap duduk sendirian melamunkan saatnya nanti untuk bertemu Tuhannya.
Kepada manusia ia tak pernah berharap untuk diberi, apalagi meminta. Kepada Tuhannyalah ia meminta, melalui kerja keras dan menerima hasil dengan penuh terima kasih. Ia juga jarang melakukan protes dengan hasil yang ia dapat, kendati ia sering berpikir, apakah yang dikerjakan ini sebanding dengan hasil yang didapat atau tidak. Namun sebagai jati diri, keihlasan ketulusan tak pernah menuntut lebih. Sekalipun ketidakadilan menimpa dirinya. Karena ia mudah juga memaafkan.

Dari hasil yang didapat itu, ia tak segan untuk mendistribusikannya kepada orang lain. Entah kepada orang yang membutuhkan atau kepada orang yang terdesak oleh keperluan hidup. Seringnya ia memberikan kepada kaum miskin dan lemah, serta mereka yang tertindas oleh ketidakadilan.

Pemberiaan itu kadang tidak hanya materi belaka, namun juga non materi berupa waktu. Wujudnya bisa melalui tenaga maupun pikiran. Dengan pikiran, pemberian berbentuk solusi, nasehat maupun advis.

Dengan keikhlasan, pemberian tak pernah ada pengharapan. Ia tak berharap memiliki nama yang populer ditengah-tengah kehidupan sosialnya, sehingga bisa dipakai untuk merengkuh suara banyak dalam pemilihan umum. Ia juga tak pernah merasa perlu untuk mendapatkan hasil dari sesuatu yang diberikan kepada orang lain. Satu-satunya yang dinginkan adalah kepuasan jiwa yang sulit diukur dengan kasat mata dan pendengaran telinga. Cukup rasa senang saat ia duduk sendirian bersama Tuhannya.

Menjiwai keikhlasan tidak hanya melalui tangan-tangan pemurah yang selalu bekerja dengan memberi dan memberi. Jiwa keikhlasan bisa muncul saat bencana ditimpakan pada mereka. Inilah ujian dari orang-orang yang sedang menuntut ilmu ikhlas. Mereka akan diberikan soal tentang kesabaran. Bila bisa mengerjakan soal tersebut dengan baik, luluslah dia dengan predikat jiwa yang tulus. Inilah bentuk keikhlasan kepada Tuhan. Lebih tinggi dari bentuk keikhlasan kepada sesama manusia.

Sebaliknya, bila tidak bisa mengerjakan kesabaran dia akan turun kelas menjadi jiwa yang selalu menuntut dan menghakimi. Jauh dari rasa syukur dan terima kasih. Kemudian yang timbul protes sana-sini. Menyalahkan dan menghujat jadi pekerjaannya sehari-hari. Derita akan jadi makanannya. Kesulitan akan jadi minumannya.

Bila mau menengok kehidupan kota yang bergelimang materi, rasanya sahabat yang bernama keihklasan ini jarang sekali muncul diantara jiwa-jiwa yang gersang akan rasa kasih. Sesuatu yang dikeluarkan, entah berupa materi maupun non materi, oleh jiwa-jiwa ini sering menuntut imbalan. Jiwa ini akan semakin kosong. Yang terisi hanyalah sifat materi fisik dari wujud seorang manusia.

Contoh yang bisa kita lihat adalah lenyapnya budaya gotong royong ditengah-tengah kehidupan kota. Sangat jarang kita menemui di kota-kota besar budaya ini masih terlestarikan dengan baik. Ini karena sesuatu selalu dinilai dengan mata uang. Bantuan tenaga orang pun akan dihitung dengan jasa sewa. Tak ada yang namanya tenaga sukarela.

Dalam kesendirian, saya sering teringat dengan budaya gotong royong yang sering dilakukan oleh orang kampung. Kadang nampak pada acara pendirian rumah atau pergelaran perkawinan dan khitan. Bahu membahu orang kampung akan menyisihkan waktunya untuk memberikan bantuan tenaga ke tetangga yang sedang melaksanakan acara-acara tersebut. Tak ada upah disana. Tak ada tuntutan imbal balik berupa uang. Yang ada kebersamaan dalam merayakan acara-acara itu. Inilah salah satu budaya yang dijiwai keikhlasan yang membuahkan indahnya kebersamaan.

Budaya lain yang dijiwai keikhlasan adalah budaya kerja bakti. Biasanya budaya ini untuk acara-acàra bersih desa atau kampung. Bahkan juga pembangunan jalan-jalan.

Mempelajari sifat keikhlasan, saya juga kerap berteman dengan aktivis-aktivis yang berkecimpung pada aktifitas sosial. Ada teman yang sibuk dengan anak-anak jalanan dan gelandangan. Teman ini membagikan waktunya untuk memberikan sedikit ilmu pendidikan kepada anak-anak ini. Mereka tak menerima imbalan. Hanya berharap kepuasan jiwa yang haus dengan rasa kasih berbungkus keikhlasan.

Bila ingin memahami keikhlasan yang lain, mungkin kita tak perlu mencarinya jauh-jauh. Terhadap ibu yang mengandung dan melahirkan kita, keikhlasan bisa ditemui disitu. Tak ada seorang ibu yang menuntut bayaran kepada anaknya saat dilahirkan.

Tangan-tangan pemurah yang selalu mengisinya dengan keikhlasan adalah tangan-tangannya Tuhan. Inilah salah satu sifat Ketuhanan yang diwariskan kepada manusia. Perwujudan sifat pemurah Tuhan bisa kita lihat dari bentuk universal Tuhan. Dia tak pernah pandang peduli, apakah itu orang jahat atau orang munafik, Tuhan akan memberi kemurahannya. Sering kali kita merasa heran, mengapa negara-negara barat yang kebanyakan memiliki paham sekularitas atau menjauhkan kehidupan agama dari keseharian mereka namun justru diberi Tuhan materi berkecukupan dan tingkat ekonomi yang tinggi. Sementara negara-negara yang mengamalkan kehidupan beragama justru tingkat ekonominya rendah.

Keheranan ini tak akan terjadi bila telah memahami ilmu keikhlasan. Karena keikhlasan tidak hanya menjiwai pemberian, atau sifat pengasih kepada sesama manusia, namun sahabat ini juga muncul untuk memahami kebaikan Tuhan.

Orang yang telah memiliki ilmu ikhlas, tak terbersit sedikitpun buruk sangka terhadap Tuhannya, sekalipun bencana ditimpakan pada mereka. Tak ada protes terhadap Illahi, meskipun takdirnya tak bernasib bagus. Yang ada hanya kesabaran sebagai wujud dari keikhlasan yang terucap dari rasa terima kasihnya kepada Tuhan. (*)

0 comments:

Posting Komentar