03 November 2010

Jati Diri

Menetapi Kesabaran
Tulisan ini didedikasikan untuk diri pribadi dan pamanku yang bernama Sabar dengan ke-Indonesia-annya yang kental.

marah1 Kesabaran ternyata butuh ketetapan. Ia perlu dibuatkan semacam peraturan untuk bisa menetap di dalam diri. Ia tak boleh sekedar mampir, lalu pergi ketika kita memerlukannya. Ia perlu tinggal, untuk membantu menjernihkan keruhnya hati dan pikiran.


DUA tahun mencari inspirasi tentang kesabaran, baru sesudahnya saya menemukan, dan menuliskannya untuk sahabat kejernihan hati yang sedang mencari jati diri. Inilah pelengkap ilmu kehidupan yang pernah saya tuliskan dalam blog ini, setelah syukur dan ikhlas.

Syukur yang ditandai tiada hari tanpa terima kasih dan ikhlas yang tuntutan ilmunya seperti tiada selesai, terasa tak lengkap ketika kita melupakan satu ilmu lagi, yakni: kesabaran. Tulisan ini merupakan anti klimaks saat saya dihadapkan pada sesuatu yang membuat perginya sahabat yang bernama kesabaran, dan didedikasikan untuk pencarian jati diri pribadi.

Saya akan beranjak pada kesabaran yang umum kita temui.

Sering kita bersuara dalam hati dan pikiran, “kesabaranku sedang diuji.” Suara itu bahkan tanpa kita sadari terlintas dengan sendirinya tanpa kita memikirkannya terlebih dulu. Padahal itulah momen kesadaran kita untuk menangkap suatu peristiwa yang nantinya akan kita tuliskan sebagai peraturan, agar kesabaran itu menetap.

Kesadaran akan suatu peristiwa yang pernah saya tangkap sehingga membuat perginya sabar dalam diri adalah ungkapan yang menyinggung kesukuan. Inilah sumber konflik yang tak bisa diredam, kecuali masing-masing kita telah membuat peraturan, agar sabar menetap dalam diri ketika ketersinggungan ini dikeluarkan seseorang pada diri kita.

Jika anda pernah bergaul dengan keberagaman kesukuan yang ada di negeri ini, mungkin anda pernah menemukan lontaran ini pada diri anda.

Apa jadinya, yang anda orang Jawa ketika kesal sama seseorang lalu terucap kata, “dasar Batak.” Apa jadinya pula, yang anda orang Batak ketika marah pada satu orang lantas keluar kata-kata, “dasar Makate.” Apa jadinya juga, yang anda orang Makassar ketika jengkel sama orang tertentu lalu berujar, “dasar Papua.” Dan seterusnya, dan seterusnya.

Konflik. Inilah kerawanan sosial yang ada di negeri ini dengan keberagaman sukunya, yang satu-sama lain tak menetapkan suatu kesabaran agar tak membuat ketersinggungan-ketersinggungan, baik yang kesal atau marah atau jengkel terlebih dulu, dan untuk yang dilontari “dasar-dasar” tadi.

Jika ketersinggungan kesukuan ini terdapat dalam diri, lekaslah untuk membuat peraturan ketetapan kesabaran dalam diri. Mungkin nomor satu. Sebab kesabaran yang umum kita lakukan adalah ketersinggungan suatu peristiwa yang membuat anda sedemikian sensitifnya. Saking sensitifnya, anda menyimpan amarah dan mencari kesempatan untuk meluapkan emosi. Berbahaya. Karena anda akan menyulutnya ke orang-orang yang satu suku dengan anda.

Lantas, apakah kita memiliki tugas untuk mengingatkan atau menasihatkan pada orang yang membuat ketersinggungan itu? Saya kira tidak. Sebab tak ada lagi waktu ketika sahabat bernama kesabaran itu sensitif dengan yang namanya ketersinggungan. Entah ketersinggungan apa saja. Karena kita akan disibukkan untuk memanggil kembali yang namanya sabar agar balik kanan, menetap dalam diri lagi. Satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan adalah menjauhi sebab-sebab yang menimbulkan ketersinggungan itu.

Jika sebab itu ditimbulkan oleh seseorang, berarti anda perlu menjauhi orang itu. Bila dekat-dekat, akibatnya akan fatal. Karena kesukuan, ras dan agama adalah faktor konflik sporadis. Ambon dengan konflik keagamaannya dan Sampit dengan konflik kesukuannya adalah contoh nyata dari ketersinggungan dan sensitifitas yang sulit dikendalikan.

Membuat kesadaran untuk mencatatkan peristiwa-peristiwa apa saja yang menimbulkan ketersinggungan bisa susah-susah gampang. Sering kita lupa untuk mencatat peristiwa itu disaat kita masih sibuk untuk membuat kesabaran itu menetap dalam diri. Alangkah bagusnya, ketika kita dibantu orang lain untuk memanggil sabar itu kembali.

Mungkin anda pernah menemui suatu peristiwa, dimana saudara atau teman, atau sahabat anda mengelus-elus dada anda dan berkata, “yang sabar ya!”

Inilah bantuan yang berharga untuk bisa berada dalam kesadaran, agar mampu mencatat peristiwa itu dan membuatkan peraturan agar sabar ada di “rumah” dan tak boleh keluar. Sebab, bisa jadi peristiwa itu terulang, di mana anda tak berada di dekat teman, saudara dan sahabat anda itu. Apa jadinya ketika peristiwa itu lagi-lagi terjadi dan anda jauh dari teman, saudara dan sahabat anda yang bisa membantu mengelus dada anda agar menetapi kesabaran? Bisakah anda sabar, sementara tak ada catatan peraturan buat si sabar untuk peristiwa yang satu ini?

Sementara, mungkin banyak sekali daftar ketersinggungan anda yang membuat si sabar sensitif. Daftar itu menjadi deretan peristiwa-peristiwa mana saja yang tiba-tiba tanpa anda sadari, menimbulkan gelembung yang membentuk partikel-partikel emosi.

Salah satu daftar ketersinggungan yang akan berkait pada tingkat kesabaran berikutnya adalah ketersinggungan atas hinaan terhadap bentuk materialitas. Didalamnya ada juga yang namanya pangkat, jabatan dan kedudukan.

Bagi anda yang bekerja sebagai bawahan, sudah pasti akan muncul sakit hati sewaktu atasan anda menghina anda hanya sebagai cecunguk, misalnya. Atau menghina posisi anda yang berada di bawahnya dia. Sedangkan bagi anda yang jumlah materinya relatif miskin bisa jadi menyimpan dendam disaat hinaan dilontarkan kawan anda yang relatif kaya.

Bisa saja batin anda berkata, “awas lu ya! Hari ini lu kaya. Lu ada di atas gua. Lu hina gua. Padahal roda berputar. Suatu saat nanti, jika gua ada di atas, lu akan terima balasannya dari gua.”

Batin yang berkata demikian, selintas sepertinya memang didiami kesabaran. Karena tak meluapkan emosi seketika. Namun, menyimpannya untuk sabar dalam meraih posisi di atas kawan yang menghinanya tadi. Ia akan berusaha untuk mengalahkan posisi kawan yang menghinanya itu. Ketika itu sudah terjadi, ia akan melaksanakan niat balas dendamnya.

Bisa jadi balas dendam itu berupa perbuatan yang sama, yang pernah menimpa dirinya. Misalnya saja soal bantuan materi yang pernah ia mintakan ke kawannya tadi. Tak mendapatkan bantuan, justru hinaan yang diperoleh. Dan ketika posisi berbalik, gantian anda melakukan hal yang sama.

Mungkin anda akan berkata, “dulu gua minta bantu lu, gak lu kasih malah lu hina gua. Apa tak malu sekarang berbalik minta ke gua.”

Sekilas memang perlakukan anda itu wajar. Namun jangan lupakan ada yang namanya sabar untuk tak melaksanakan niat jahat atau niat buruk. Inilah tingkatan sabar kedua setelah sabar dari ketersinggungan dan sensitifitas.

Mencatat dan merekam niat-niat buruk dan jahat akan membantu membuat peraturan ketetapan kesabaran. Disitulah ujiannya. Apakah kita lolos dari jebakan niat tersebut atau justru terperangkap untuk melakukannya.

Dua kesabaran tersebut sebenarnya ada dalam wilayah sosial, yakni hubungan dan interaksi dengan manusia. Jika kita mempercayai adanya Tuhan, berarti kita juga memerlukan interaksi, seperti halnya kita berinteraksi dengan sesama manusia. Dan dalam  interaksi ini, tingkatan sabar yang ketiga menjadi bagian berikutnya. Yakni: sabar dengan perlakukan Tuhan.

Ada yang menyebut, bencana Gunung Merapi meletus dan Tsunami di Mentawai merupakan murka Tuhan. Jika ada sebutan ini, saya akan melontarkan pertanyaan dibawah ini.

Apakah Tuhan memperlakukan tak adil buat warga disekitar lereng Gunung Merapi dan warga di Kepulauan Mentawai ketika bencana itu didatangkan? Apakah mereka tak ber-Tuhan sehingga sampai diperlakukan demikian? Lantas mengapa penduduk Jakarta yang banyak sekali kehidupan malamnya dengan kebejatan moralnya tak diperlakukan Tuhan seperti mereka yang ada di Wasior, lereng Gunung Merapi dan Kepulauan Mentawai? Lalu Aceh terkenal dengan berke-Tuhan-annya yang mensyariatkan Islam dalam wilayah itu, mengapa 2004 silam luluh lantak oleh Tsunami? Tak adilkah Tuhan? Atau justru mungkin Tuhan lebih peduli pada mereka-mereka yang akan ditimpakan bencana sehingga diberikan soal ujian tentang kesabaran tingkat tiga ini, sementara lainnya masih berkutat dengan soal ujian kesabaran tingkat satu dan dua?

Saya lebih percaya dengan pertanyaan terakhir yang saya sebut itu. Inilah kesabaran tingkat akhir. Menjadi rangkaian ketiga, setelah ikhlas dan syukur atas perlakuan Tuhan. Menjadi satu ketetapan bersama dalam menjalani roda kehidupan. (G)

Baca juga:
Tiada Hari Tanpa Terima Kasih
Menuntut Ilmu Ikhlas

0 comments:

Posting Komentar