14 Oktober 2008

Jati Diri - Tentang Kesederhanaan

Mencoba Hidup Sederhana

SAYA pernah mendengar berita ada orang yang tega menghabisi nyawa orang lain hanya untuk mendapatkan uang. Ada 2 berita yang saya dengar. Satu ada di Jayapura, satu lagi ada di Jombang, Jawa Timur. Terungkapnya pelaku pembunuhan ini hampir berbarengan.
 

Pembunuhan di Jayapura dilakukan seorang remaja usia 20-an tahun. Tergolong muda. Ia menghabisi nyawa orang yang selama ini telah berbuat baik padanya. Motifnya, uang ratusan juta rupiah.

Sementara pembunuhan yang terungkap di Jombang, Jawa Timur, pelakunya juga seorang pemuda yang dulunya pernah mengajar anak-anak mengaji. Modus pembunuhannya cukup keji. Tidak hanya dilakukan sekali, tapi berkali-kali. Korbannya cukup banyak. Mulai laki-laki dewasa hingga ibu-ibu, bahkan sampai ke anak-anak juga jadi korban. Motifnya juga uang.
Setelah mengambil uang dari korbannya, gaya hidup pemuda-pemuda ini berubah drastis. Pelaku pembunuhan yang ada di Jombang malah punya tempat tinggal apartemen mewah di kawasan Depok, Jawa Barat. Ia tak jarang menghambur-hamburkan duit yang didapat dengan cara tidak manusiawi untuk keperluan foya-foya.

Gaya hidup, dalam bahasa gaulnya life style, di jaman sekarang ini memang banyak yang memburu kenikmatan, istilah dari seorang motivator dan inspirator Gede Prama. Boros, istilah kita, hedonisme istilah ideologinya.

Gaya hidup ini sering diimpor dari negeri-negeri kapitalis. Amerika adalah biangnya. Dengan kekuatan ekonominya yang super, negeri ini kerap menjadi kiblat gaya hidup orang-orang di negara berkembang. Orang-orang di negeri ini adalah salah satu korbannya.

Yang jadi korban tidak hanya orang-orang biasa namun pejabat juga tidak sedikit yang jadi korban gaya hidup mewah dan foya-foya.

Saya pernah melihat bangunan rumah mewah di Jayapura milik salah seorang pejabat bupati di daerah. Halamannya cukup luas. Garasinya lebar. Cat rumahnya mengkilap. Pokoknya serba mentereng. Sayang, saya tak punya kepentingan untuk masuk rumahnya sekedar melihat isi perabotan rumahnya. Tapi perkiraan saya pasti tak jauh dari yang ada di rumahnya. Perabotannya serba lux dan berharga tidak murah.

Inspirator Gede Prama pernah menulis dalam bukunya, hidup di jaman sekarang sering terjebak pada perlombaan. Lomba mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk perlombaan memamerkan gaya hidup yang serba wah.

Suatu ketika saya membuka sebuah majalah remaja yang didalamnya terdapat profil beberapa model gadis-gadis remaja yang cukup populer di kalangan anak-anak muda. Profil itu memuat biodata lengkap, mulai tanggal dan tempat lahir hingga hobbi (kesukaan) dari model tersebut. Saat mengetahui hobbi dari model yang terpampang, pikiran saya cukup terganggu. Beberapa dari model itu memiliki kesukaan shoping, atau belanja. Wuah…, ini termasuk hobbi yang cukup menggelitik di telinga orang yang ekonomi keluarganya serba pas-pasan atau bahkan yang serba kekurangan.

Bisa dibayangkan, hobbi ini hanya milik anak-anak muda atau remaja yang hidupnya ditengah-tengah orang tua yang berkecukupan atau yang bergelimang duit. Setiap hari bahkan, ia akan membelanjakan duitnya untuk hal-hal yang sebetulnya dirasa tidak perlu. Setiap waktu pula ia bisa menghabiskan berjam-jam untuk jalan-jalan dan putar-putar di mall.

Hobbi ini kayak-kayaknya tidak hanya dimiliki anak-anak remaja saja. Pernah saya mendengar ada wakil-wakil rakyat negeri ini yang konon melakukan studi banding dengan perjalanan ke luar negeri, tidak hanya menyempatkan diri tapi justru jalan-jalan melakukan kegiatan shoping. Hasil yang didapat saat pulang dari studi banding bukan bagaimana membenahi pembangunan negeri tapi oleh-oleh berupa barang-barang buat pertunjukan kemewahan.

Negeri ini penghuninya memang keranjingan dengan yang namanya pamer, mulai dari pamer penampilan hingga pamer barang-barang yang dimiliki.

Ada ajaran dan tuntunan dalam agama yang cukup unik untuk kita ikuti di jaman kini. Tuntunan itu adalah hidup sederhana. Istilah saya kesederhanaan lebih dari sekedar cukup. Bukan cukup untuk memiliki uang agar bisa beli mobil atau bangun rumah megah yang isinya serba mewah, bukan pula memiliki cukup uang untuk melamar seorang gadis yang meminta “uang naik”. Juga bukan kecukupan untuk memenuhi pangan, sandang maupun papan, sebagai kebutuhan dasar dari kehidupan.

Kesederhanaan bagi saya adalah tampilan yang bisa membuat hidup tenang dan bersahaja. Ia berumah teduh yang membawa kesejukan di dalamnya, berpakaian sekedarnya yang membawa kehangatan jiwa serta bermakanan kenyang yang menyehatkan hati dan pikiran.

Pepatah bijak pernah mengatakan, makanlah selagi merasa lapar, minumlah selagi merasa haus. Makan hanya untuk menghilangkan rasa lapar dan minum hanya untuk menghilangkan rasa dahaga. Inilah percontohan dari konsep kesederhanaan. Ia tak tergoda dengan lorong-lorong keinginan. Baginya, keinginan bisa menyesatkan.

Seorang penulis jernih mengatakan, keinginan yang tak terkelola dengan baik dapat membutakan orang.

Keinginan, dalam bahasa pemasaran, lebih dari sekedar kebutuhan. Orang butuh minum, karena haus. Namun, karena keinginannya mau minum soft drink misalnya, maka ia akan menghilangkan kehausannya dengan minuman yang bukan hanya sekedar air putih. Hal yang sama terjadi saat orang butuh makan. Namun karena keinginannya yang mewah, maka ia tak sekedar mau makan di warung-warung pinggir jalan. Melainkan memilih restoran yang tentu harga makanannya jauh lebih mahal dari makanan di warung pinggir jalan.

Inilah contoh dalam penerjemahan konsep kesederhanaan.

Bagi anda yang pernah terinspirasi dari buku yang ditulis Gede Prama mungkin ingat dengan apa yang ditulis mengenai gengsi dan harga diri. Ijinkan saya terjemahkan, apa yang disebut dengan melupakan gengsi dan harga diri itulah yang dimaksud dengan kesederhanaan. Ia tak peduli dengan sebutan gengsi apalagi untuk mempertahankan harga diri. Kesederhanaan cukup membuat hidupnya lebih nikmat dari segala-galanya.

Gengsi kadang melelapkan orang untuk memiliki lebih dari orang lain. Lebih kaya, lebih pintar, lebih menarik, lebih berkuasa dan serba lebih dari yang lain. Ujungnya akan berakhir dengan menaikkan citra diri yang membuat harganya mahal. Padahal kalau mau berkaca dengan cermin kebesaran Tuhan yang memiliki alam, itu semua tak ada artinya. Seperti sebutir pasir ditengah hamparan luasnya samudera padang pasir.

Anda tertarik untuk mencobanya?

0 comments:

Posting Komentar