06 Desember 2008

Petite - Keluarga Wartawan Tersandung Pidana

Jadi Raja Tega Untuk Jaim

MEMANG
serba repot kalau punya pekerjaan yang berdekatan dengan orang-orang penting. Keluarga kadang berpikir, posisi wartawan bisa dimanfaatkan jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk “urusan-urusan penting.”

Berat hatinya, dengan alasan kekeluargaan –atau alasan yang dibuat manusiawi- wartawan mau tak mau perlu mengurusi “urusan-urusan penting itu.”

Ini kisah yang akhir 2008 silam dialami salah seorang wartawan di Jayapura. Dia bekerja sebagai salah satu kontributor untuk stasiun tv di Jakarta.

Ceritanya: wartawan ini sedang mencoba melakukan negosiasi dengan Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) untuk –setidaknya- menangguhkan proses hukum salah satu kerabatnya yang terkena kasus 303, judi togel.

Ia sempat bercerita ke saya melalui telepon, saat hendak melakukan negosiasi itu. Sempat ia minta konsultasi ke saya. Sayangnya, saya tak mau berputar pada pembicaraan mengenai bagaimana kerabatnya itu bisa dikeluarkan dari tahanan polisi. Saya hanya bertanya, apakah ada barang bukti atau hanya sekedar alat bukti. Nyatanya, cuma alat bukti. Kerabatnya itu ditunjuk oleh dua orang yang sebelumnya tertangkap tangan oleh polisi sedang jualan togel.

“(Kerabatnya) Suruh mengelak saja, Mas! Pura-pura tak kenal dua orang itu,” anjur saya saat dia minta pertimbangan. Ini memang trik pengacara. Kalau hanya sekedar alat bukti berupa keterangan tersangka, masih lemah. Ini urutan terakhir dalam pembuktian seseorang bisa dijadikan tersangka atau tidak.

“Mas, bagaimana kalau saya ke Paulus Waterpauw ya?” tanyanya ke saya.

“Wah jangan Mas! Berat itu kasus 303,” saya jawab.

“Saya sudah ketemu wakapolseknya. Ia minta tebusan dan jaminan Rp 10 juta,” ungkapnya.

“Kasih saja Mas! Nanti saat penyerahan uang, kita liput. Memangnya jaminan itu diberikan ke negara atau mau dimakan sendiri,” timpal saya.

“Wah, kuatirnya kalau mereka dendam Mas. Bisa tambah repot kita.”

Dalam hati saya bilang, malu juga kalau mengurusi keluarga yang terlibat kasus hukum.

Paulus Waterpauw seorang Kombes di Polda Papua. Jabatannya Direskrim. Saya pernah berurusan juga dengan Kombes ini diluar tugas. Ceritanya sama persis di atas. Bahkan ini kerabat dekat, saudara kandung. Terkenanya kasus malah 303 golongan besar. Repotnya lagi, Ibu saya menelepon untuk meminta saya agar berusaha membebaskan saudara kandung itu. Waduuh….

Saya tak berusaha untuk mau tahu urusan yang menyangkut saudara saya itu. Perasaan saya memang malu untuk ngurusi hal yang satu ini. Kendati jika dibandingkan dengan pejabat negara yang korup, kerugian publik lebih besar.

Sayangnya, Ibu saya terus menerus menelepon dan menanyakan bagaimana perkembangan usaha saya untuk meloloskan saudara kandung itu. Akhirnya dengan perasaan malu, saya kontak PW, sebutan singkat Paulus Waterpauw dikalangan wartawan Jayapura. Saya hanya menanyakan apakah diproses lanjut kasus itu. Saya tak menyebut kalau orang yang ditangkap itu saudara kandung saya. Saya hanya bilang ada hubungan kekerabatan. PW sempat meminta saya untuk menemuinya di kantor keesokan harinya. Namun saya akhirnya tak pernah menemuinya. Bahkan saya juga tak pernah menengok saudara saya itu dalam tahanan Polda Papua.

Belakangan, yang saya dapatkan info dari teman saudara kandung yang turut mengurusi kasus itu, “polisi cuma dapat, gak sampai Rp 10 juta. Kita habisnya di pengadilan. Hakim mintanya hampir Rp 30 juta, Jaksa sekitar Rp 15 juta. Kita habis lebih dari Rp 60 juta untuk dapat vonis tidak lebih dari 3 bulan.”

Itu kata dari teman saudara kandung saya. Teman itulah yang semestinya tertangkap tangan. Tapi ia beruntung. Saat penggerebekan di rumah seorang bandar judi togel terbesar di Jayapura, teman itu sedang di toilet. Kartu judinya ia minta saudara kandung saya itu yang pegang. Sehingga yang tertangkap tangan saudara kandung saya. Sementara si temannya hanya jadi saksi. Akhinya mau tak mau, si temannya itu yang akhirnya mengurusi “negosiasi puluhan juta” dengan aparat-aparat hukum. Negosiasi yang akhirnya bisa meringankan ancaman 10 tahun [pasal 303] menjadi 3 bulan. Itu hanya untuk satu orang. Sementara yang tertangkap ketika itu ada lima orang.

Mungkin, jika saat itu saya yang bekerja untuk salah satu stasiun televisi di Jakarta sebagai kontributor mengawal kasus tersebut, ancaman 10 tahun bisa saja terjadi. Namun, saya bukanlah Bill Kovach yang dalam cerita mentor saya, akan maju terdepan sebagai wartawan peliput bila anak-anaknya terlibat kasus hukum atau yang merugikan publik.

Bagi saya, cukup saja membantu saudara kandung saya itu dengan tidak mengawal kasusnya dengan liputan. Cukup juga memendam sakit hati yang dalam terhadap aparat-aparat hukum yang bisa dengan mudahnya mendapatkan puluhan juta. Sementara wartawan dengan gaji atau honor kontributor yang habis untuk makan dan bayar kontrakan rumah???

---- Jayapura, Akhir 2008 ----

0 comments:

Posting Komentar