13 Oktober 2008

Jati Diri - Tentang Kejujuran

Berlatih Jujur di Dalam Negeri yang Penuh Maling


SUATU hari di bulan Oktober 2007 saya belanja peralatan komputer di sebuah toko komputer terbesar di Jayapura. Peralatan itu untuk kantor koran harian yang akan didirikan akhir November 2007. Kebetulan saya terlibat didalamnya, dan saya mendapat bagian untuk pengadaan peralatan perkantoran. Belanjaan itu menelan uang lebih dari Rp 33 juta, dengan diskon hampir Rp 1,5 juta.
 

Pas hendak bertransaksi, supervisor toko menyodori saya dengan kuitansi sementara yang dikeluarkan sebagai bukti untuk bos saya sebelum dilakukan transaksi pembayaran. Kuitansi tersebut ditulis lengkap dengan spesifikasi (spec peripheral) dari satu unit komputernya. Mulai dari kapasitas hardisk, kapasitas memory hingga kartu grafis yang terpasang.

Sengaja saya meminta catatan lengkap dari sebuah spesifikasi komputer yang hendak saya ambil, sehingga ukuran harga satu unit komputer bisa tampil seadanya dalam catatan kuitansi, tanpa keinginan untuk mengada-ada (baca: mempermainkan).

Tiba-tiba supervisor itu menawarkan, apakah saya mau mencantumkan sekalian harga diskon atau tidak. Ia mengatakan, kebanyakan orang-orang yang belanja pengadaan komputer untuk institusinya, tidak mencantumkan harga diskon. Sehingga diskon pun akan melayang masuk ke dalam kantong orang tersebut.

“Ada kesempatan untuk mendapatkan keuntungan sendiri nih,” bisik setan yang melayang di telinga kiri saya.

Sepintas lalu memang tak ada ruginya jika saya mengambil keuntungan sendiri. Toh saya tidak mendapatkan fee dari tugas yang dilimpahkan ke saya itu. Hanya insentif Rp 60 ribu per hari selama persiapan pendirian kantor tersebut. Terlalu kecil bukan, jika dibandingkan dengan uang yang bisa saya dapat dengan cara yang mudah. Tinggal meng-oke-kan saja kata supervisor itu, uang Rp 1,5 juta pun bisa masuk kantong.

Jika menilik cerita supervisor tersebut, saya berpikiran, apakah memang kebanyakan orang sulit untuk bekerja jujur dalam hidupnya? Padahal bekerja adalah bentuk pengabdian diri kepada Tuhan. Tapi jika dikotori dengan ketidakjujuran?

Mendapatkan uang tanpa keterbukaan bisa saya terjemahkan dengan ketidakjujuran, meski itu nilainya tak seberapa. Apalagi saat nilai uang yang dikeruk bermilyar-milyar.

Manipulasi dan konspirasi adalah bentuk terburuk dari ketidakjujuran.

Bagi orang-orang yang bening, ketidakjujuran bisa saja berupa pengingkaran terhadap hati nurani. Saat orang-orang bening ini telah bisa mendengar bisikan hati nuraninya, malulah harga dari ketidakjujuran yang ia lakukan, dan kesabaran akan ia jadikan harga dari kejujuran yang dipegang teguh.


PADA lain kesempatan, saya pernah menyuruh seorang teman untuk beli rokok. Saat datang kembali, ia menyerahkan uang sisa yang tidak pas dengan harga 2 bungkus rokok. Tanpa bilang sesuatu pun ia ngeloyor pergi dengan membawa sejumlah uang yang ia ambil dari sisa pembelian rokok tersebut. Padahal nilai uang yang ia ambil nilainya tak seberapa jika dibanding dengan harga sebuah kejujuran (keterbukaan) yang bisa ia tampilkan.

Kebanyakan yang saya dapati adalah orang takut tidak dikasih kalau bicara. Padahal jika mau bicara dengan sepatah kata, “sisanya saya ambil kaah..,” atau “saya ambil sepuluh ribu ya! Buat makan…,” mungkin jawaban yang akan didapat, “iya, sebagai tanda kasih.”

Lalu, jika orang yang kita beri itu mengucap terima kasih, bisa saja dibalas dengan ucapan, “kasih diterima.”

Sangat indah bukan?

Inilah harga sebuah kejujuran yang lain, yakni kasih mengasihi.

Saat hubungan antar anak manusia ditampilkan dengan saling mengasihi, rasanya angka kriminal yang tercatat di polisi akan berkurang, bahkan tidak mungkin tidak, angka itu bisa jadi nol. Hidup pun akan damai, tenang dan bersahaja.

Kasih adalah kata lain dari memberi. Mudah memberi, terutama untuk orang-orang yang memerlukan atau membutuhkan, adalah sifat-sifat pengasih (pemberi). Inilah sifat-sifat orang yang hidupnya selalu diwarnai dengan cinta. Bukankah mengasihi adalah salah satu lapisan dari cinta?

Sifat pengasih yang sangat tinggi tentunya ada pada Tuhan Maha Pengasih. Tuhan selalu memberi. Entah orang baik atau jahat, entah pendeta, kiai atau koruptor sekalipun, entah orang itu jujur atau tidak jujur, akan diberikan terangnya sinar matahari, akan diberikan teduhnya pohon. Inilah sifat pengasih universal.

Kembali pada harga kejujuran, menanam kejujuran seperti halnya menanam pohon yang pahit sekali rasanya. Namun kelak, jika sabar menanti pohon ini berbuah, rasanya akan manis.

Harga lain dari kejujuran adalah kepercayaan. Semakin jujur anak manusia, semakin tinggi nilai kepercayaan yang akan diberikan. Manalah mungkin seorang kiai yang sering berbohong akan diberikan cap “percaya” oleh santrinya. Manalah mungkin seorang pendeta yang kerap berdusta akan diberikan stempel “percaya” oleh umatnya. Rasanya tak mungkin.

Kejujuran sangat berkaitan erat dengan kehidupan personal seseorang. Ia mulai dari dalam diri, dan pertama yang akan ia lakukan adalah jujur pada dirinya sendiri. Jujur pada hati nurani. Jika saja ia mampu jujur terhadap dirinya sendiri, niscaya ia akan jujur kepada orang lain.

Melatih kejujuran memang berat jika kita ingin langsung memetik buah yang manis. Mendapatkan uang dengan mudah, yakni dengan melakukan mark up harga memang manis sekali terasa. Melakukan manipulasi kuitansi untuk menghasilkan duit, memang sangat gampang sekali dilakukan. Apalagi orang lain yang buat kuitansi bisa diajak kerjasama untuk saling berbohong, melakukan ketidakjujuran berjamaah.

Saat tekanan hidup yang begitu berat, ditambah harga-harga yang melambung akibat kenaikan BBM yang disebabkan meningginya harga minyak dunia, rasa-rasanya bukan cukup alasan untuk berperilaku tidak jujur dalam mendapatkan uang. Namun inilah yang kebanyakan orang lakukan.

Saya pernah mendapati seorang pengusaha di Jayapura yang mendapatkan proyek pengadaan laptop dengan harga yang benar-benar gila, mengharamkan nilai-nilai kejujuran. Harga sebuah laptop dalam kuitansi penagihan dicantumkan Rp 30 juta, belum termasuk pajak tentunya. Padahal laptop hanya memiliki spesifikasi harga Rp 8 jutaan. Belakangan yang saya dengar, pengusaha itu dipajak [illegal] juga oleh pejabat yang memberi proyek.

Memang, tak ada dagang yang tak mengambil untung. Tidak ada proyek yang tak mendapatkan insentif sebagai kompensasi jerih payah. Namun, apakah perlu mengorbankan nilai-nilai kejujuran dan keadilan?

Kejujuran seakan-akan jadi barang langka yang ada pada masa sekarang. Namun, justru barang yang langka akan memiliki nilai harga yang teramat tinggi. Baik dihadapan manusia, lebih-lebih dihadapan Tuhan.

Seorang sahabat pernah menulis, melatih kejujuran ditengah-tengah godaan merupakan salah satu alat kontempelasi (meditasi). Sementara ditengah-tengah banyaknya orang yang bercerita bangga tentang ketidakjujurannya akan menjadi tantangan untuk meditasi kejujuran. Belum lagi paksaan dari banyaknya keinginan dalam diri untuk memiliki kebendaan yang terideologi dari materialisme. Tentunya akan menjadi berat melatih diri untuk jujur.

Ada yang tertarik untuk ikut berlatih dengan saya?





0 comments:

Posting Komentar