11 Oktober 2008

Menjaring Makna Cinta

cerita oleh: Garie Bowo

KEPEDIHAN bukan datang dari luar. Ia hadir dari dalam jiwa yang rapuh dengan pikiran yang selalu dihantui dengan keburukan. Itulah saat aku merasa sadar bahwa bukan dia yang menyebabkan kepedihan itu menderaku. Dia hanyalah bayangan ketakutan, muncul dari masa lalu yang mencipta penyesalan semu. 

Yach, semuu. Karena penyesalan hanyalah gumpalan awan kelam yang akan membuat mendungnya suasana hati. Suram, menjadikan langkah-langkah kaki semakin rapuh dalam menapaki hari ini.
Aku jadi ingat dengan ungkapan dari buku seorang penulis yang selalu menyebut dirinya dengan kejernihan. Masa lalu memang telah lewat. Ia tak akan mungkin dibalikkan dengan perjalanan waktu yang selalu berputar maju. Sementara masa akan datang masih gelap. Ia hanya sekumpulan misteri yang tak bisa ditebak secara pasti. Satu-satunya yang ada adalah saat ini, masa sekarang yang perlu dirangkul dan dipeluk mesra. Agar bisa menghirup udara keindahan akan adanya hidup dan kehidupan.
“heeeh…” kuhempaskan desah nafas panjang. Mencoba melepaskan beban berat yang menghimpitku selama satu minggu ini.

Kenangan demi kenangan akan hadirnya seseorang yang selama berbulan-bulan itu kupeluk dalam kemesraan melalui telepon selalu saja mendatangkan lamunan yang berujung pada penyesalan dan protes pada takdir. Akibatnya aku terjebak pada egoisme yang tak tentu arah. Menjadikan dada sesak dipenuhi hawa yang tak sedap. Membuat langkah kaki gontai dalam merengkuh kehidupan yang masih panjang.

“Cinta tak selamanya memiliki,” desah batinku yang mencuat ke ujung bibir.

Memang berat melepas cinta terakhir yang ingin kumiliki. Cinta yang ingin kupersembahkan bagi jalannya kehidupanku. Cinta yang ingin kuwarnai dalam hari-hariku kelak. Cinta yang ingin selalu kuhadirkan dalam setiap helaan nafasku. Cinta yang ingin kualirkan dalam kehangatan pembuluh-pembuluh darahku.

“Entahlah. Aku tak tahu lagi apa makna cinta yang sesunggguhnya setelah ia dimiliki orang lain. Benih-benih yang selama ini kutanamkan dalam taman hatinya agar tumbuh pohon-pohon cinta, nyatanya yang memetik orang lain. Orang yang selama ini tak pernah menaburkan cinta dalam taman hatinya,” keluhku dalam alam pikiran.

Dibalik itu semua, aku jadi semakin memahami bagaimana cinta itu.

Cinta bukanlah sekedar memiliki. Ia memiliki lapisan inti yang berupa keikhlasan dalam bungkusan ketulusan. Ia rela meski sesuatu yang dicintai itu tidak jadi miliknya. Ia menghadirkan kasih yang tak pernah menuntut balasan atau imbal balik. Ia mendatangkan kebaikan bagi siapa saja yang ingin disayangi.

“Mungkin inilah makna-makna cinta yang sesungguhnya,” terucap kata dari sela-sela bibirku.

Sekali lagi kutarik nafas dalam-dalam. Kali ini kuhirup udara kelegaan yang tak pernah kudapatkan sejak kudengar kabar ia dinikahi orang lain. Lalu kuhembuskan dalam desahan panjang, melepas segala kekecewaan tuk mengobati luka hati agar tak berkepanjangan. Tergantikan dengan kelegaan hati yang telah dielus dengan rangkaian keikhlasan yang kudapatkan dalam jejaring makna-makna cinta.

“Yach, keikhlasan. Mungkin inilah sebenarnya unsur cinta yang tak boleh dilupakan. Ia sepertinya inti dari cinta. Karena semua lapisan yang ada dalam cinta harus berangkat dari sini. Mulai dari rasa kasih, termasuk pengorbanan sekecil maupun sebesar apapun, hingga rasa sayang memerlukan keihklasan. Rasanya percuma kita mau menyebut kasih dan sayang kita dengan sebutan cinta bila tak ada keikhlasan yang menyertainya,” ungkap pikiranku yang pelan-pelan mulai jernih.

Keikhlasan terbesar yang harus kupersiapkan saat ini adalah menerima kenyataan bahwa gadis yang kucintai dan ingin kujadikan pendamping seumur hidup menjadi milik orang lain.

“Aku mohon, relakan aku bahagia dengan suamiku. Aku memang belum mencintainya. Rasa cintaku masih untukmu. Aku masih sayang kamu. Tapi aku sudah menjadi milik orang lain. Ini bukan kehendakku. Ini suratan takdir buat kita, dan aku akan coba setia pada pernikahan,” katanya suatu ketika dengan isak tangis di ujung telepon.

“Takdir? Huh…,” dengusku.

Takdirnya bukan dia sendiri yang membuat. Kebahagiaan bukan dirinya sendiri yang mencipta. Takdirnya yang membuat orang tuanya. Meski akhirnya Tuhanlah yang menggariskan hidupnya bersama orang lain.

“Satu yang kubenci darimu adalah kamu tak kuasa untuk menentukan takdirmu sendiri. Kamu terlalu lemah. Aku memang percaya pada Tuhan yang berkehendak. Tapi awal takdir manusia dibuat oleh dirinya sendiri. Kenapa kamu tidak kuasa menolak desakan orang tuamu untuk menikahi orang lain? Sementara kamu telah menanamkan janji dan komitmen bersamaku,” protesku padanya.

“Pliiss…, aku bermohon padamu untuk melupakan aku. Lepaskanlah aku. Relakan, kalau memang kamu tulus mencintaiku. Anggap saja kita tak berjodoh,” pintanya.

Harapanku memang hancur. Rasanya aku sangat keberatan dengan pernikahannya. Selama ini aku dilambungkan dengan impian hidup bersamanya hingga akhir hayatku dengan cinta dan cinta. Janji dan komitmen pun kami tanamkan dalam hati. Sayang, kehendak orang tuanya agar ia bisa menikah sebelum neneknya menghembuskan nafas terakhir membuat cinta ini tak bisa lagi disatukan.

“Mengapa??? Mengapa kalau pernikahanmu hanya untuk memenuhi harapan agar omamu bisa melihatmu memiliki pendamping hidup sebelum meninggal, lalu cinta kita kamu korbankan? Mengapa?” jeritku memprotes keputusannya menikah agar bisa dilihat omanya sebelum meninggal.

“Pliss…., jangan sepenuhnya salahkan aku. Hari itu ketika aku dilamar, aku coba menghubungimu, tapi kamu seperti menghilang,” isaknya semakin terdengar.

“Aku bukannya menghilang. Tapi aku ingin memberikan kesempatan waktumu untuk menikmati kebersamaan yang terakhir kalinya dengan omamu yang kamu kasihi. Aku tak ingin mengganggumu terlebih dulu. Disaat-saat omamu sekarat di rumah sakit, aku hanya ingin kamu memprioritaskan waktumu dengan keluargamu,” aku coba menjelaskan tentang dua minggu aku tak menghubunginya.

“Sudahlah. Semuanya sudah terlambat. Kita tak akan bisa lagi bersatu. Oma sebelum meninggal berpesan padaku agar aku setia pada pernikahan,” katanya disela-sela isak tangis.

Pernikahan memang sesuatu yang perlu kuluhurkan, meski keagungan cinta belum ada bersamanya. Didalamnya terdapat rangkaian sakral yang terucap janji atas nama Tuhan. Inilah bentuk cinta tertinggi yang bisa dimiliki manusia. Jauh dari godaan nafsu-nafsu kotor yang menodai nama cinta. Kemuliaan nama Tuhan ada di dalamnya. Inilah perwujudan kasih sayang Tuhan yang sesungguhnya terhadap manusia yang diciptakan berpasang-pasangan. Spiritualitasnya menjadikan cinta sebagai kekuatan untuk menapaki kehidupan.

“Tapi kan kamu tidak mencintai dia,” protesku lagi.

“Aku akan belajar mencintainya,” jawabnya.

Sungguh, pernikahan memang akan mengajarkan seseorang untuk mencinta dengan kesucian dan kemuliaan Tuhan. Aku jadi ingat pesan orang tua jaman dulu. Sering kali orang jaman dulu menikah tanpa pacaran terlebih dulu. Mereka pun tak mengenal apa yang namanya cinta sebelum menikah. Justru bagi mereka pacaran bisa mendatangkan celaka. Tak sedikit gadis yang ternoda saat berpacaran. Cukup banyak anak-anak manusia yang dilahirkan tanpa ikatan pernikahan. Lagi-lagi mereka melakukannya atas nama cinta yang jadi alasan. Padahal sebenarnya yang mereka perbuat adalah atas dasar nafsu yang mudah terjerat dalam godaan setan.

“Berbahagialah kamu. Orang tuamu telah mengajarkan sesuatu yang baik untukmu. Sehingga kamu bisa terlepas dari godaan bayangan kenikmatan nafsu dan gelora yang memalsukan diri dengan nama cinta. Cintailah dia dan bersabarlah,” pesanku sebelum mengakhiri perpisahan dengannya.

Memang berat berpisah dengannya. Rangkaian makna-makna cinta telah kurajut bersamanya. Ada kesabaran, ada keikhlasan, selebihnya kasih dan sayang yang mengiringi langkah-langkah kami dulu. Kini yang tinggal keikhlasan untuk merelakan ia berbahagia dengan orang lain. Sementara kesabaran perlu kusisakan untuk menguatkan langkah dalam menghadapi ujian cinta yang kumiliki. (*)



Tanah Hitam - Jayapura, medio September 2008

0 comments:

Posting Komentar