10 Oktober 2008

Doa-Doa Cinta


cerita oleh: Garie Bowo
Hangatnya suasana cinta itu menyejukan iman. Damainya mengharumkan ruangan jiwa yang tenteram. Itulah waktu, ketika aku merasakan getaran cinta yang sulit ia tangkap. Getaran yang membuat detakan jantungku perlahan melemah, dan mati untuk selamanya.

*******
PELAN dari ruangan sebelah, sayup kudengar nyanyian D Massive yang mengawalinya dengan “Kau membuatku berantakan.” Perlahan, kegundahanku muncul kembali diantara kepulan asap Sampoerna Hijau yang mendinginkan tenggorokanku. Terbayang, kehancuran yang membuatku tak karuan saat ini sering kukaitkan dengan sikapnya yang selalu acuh. Membuatku makin tak tahu lagi, akan kukemanakan cinta yang berbalut doa itu.“Adakah doamu untukku dalam hati,” bisik hatiku, menghantarkan desahan sesaknya nafas yang ingin kuhempaskan dari ujung hidung.

Doa adalah penghantar menuju ke keagungan cinta. Berbungkus kemuliaan kasih yang dikenakan, berbalut kesucian kain sayang. Jauh dari tangan-tangan keirian dan kedengkian yang mengotori nafsu kemuliaan Tuhan. Lepas dari fantasi-fantasi liar hewani seorang anak manusia. Menyejukkan jiwa, menenangkan pikiran disaat kegundahan melanda.

“Ya Allah, ya Tuhanku…,” jeritku dalam hati.

Mataku mulai berkaca-kaca. Titik-titik air mata perlahan menetes dari kelopak hitam mataku.

Buru-buru kuusap. Kegaluan yang menyergap segera kusingkirkan.

“Aku tak boleh begini terus. Cukupkan dengan keikhlasan doa, kendati keburukan ditimpakan padaku. Meski jalan bersahabat dengan kebaikan tak lagi bisa kuretas dengannya, biarlah doaku ini menjadi tanda adanya cinta yang kupendam dalam diri ini untuknya,” teriakku dari relung hati yang dalam.

Aku segera bangkit dari lamunan. Ada sesuatu yang harus kulakukan. Tidak boleh lagi kutunda.

“Sudah waktunya,” bisik hatiku.

Sesaat kemudian suara adzan Ashar terdengar di kejauhan. Kulangkahkan kaki ke ruangan yang mendendangkan nyanyiannya D Massive. Segera kumatikan lagu itu. Bukan sebagai bentuk penghargaan terhadap suara-suara Illahi yang mengalun terbawa angin, namun kuingin menikmati dendangan yang menyuarakan panggilan untuk berbahagia bersamaNya itu. Ya, itulah alunan musik yang bisa menenangkan jiwa, menyelaraskan pikiran dan menyatukan hati dalam cinta Illahi.

“Dendangan ini lebih menyejukan pikiran bila mau mengeluskannya ke nurani jiwa yang tersembunyi di balik kekotoran hawa nafsu,” bisik akalku.

Sungguh, dendangan itu bukan sekedar panggilan semata-mata. Didalamnya terdapat rangkaian keindahan yang membawa hati menuju taman cinta tertinggi. Sayang bila terbuang tanpa resapan. Hanya karena mata selalu memandang keindahan fana. Cuma gara-gara telinga selalu didengarkan cerita-cerita basi tentang keirian, kedengkian, kecemburuan, kemarahan, keserakahan, kemunafikan, hura-hura dan kesenangan tak bermakna, serta kesedihan tak berjiwa.

“Ooh, dimanakah jiwa yang bernurani ketundukan dan kepasrahan kepadaNya. Jiwa yang selalu berserah diri padaNya. Jiwa yang hampir terkikis habis oleh godaan-godaan yang selalu datang tanpa kenal lelah. Jiwa yang tenggelam dalam keruhnya akal. Jiwa yang tak bisa dikenali lagi oleh buramnya pikiran. Dimanakah jiwa yang jernih dan bening?” rintihku dalam keheningan.

Aku tak ubahnya seperti kebanyakan orang. Membiarkan nurani jiwa terkubur dalam kubangan dalamnya nafsu liar. Mengikatkan hati dengan belenggu kebendaan yang sarat akan keserakahan dan kebencian, bertumbuh kemarahan dan egoisme buta. Menjadikan cinta tak lagi dikenali dengan kebenaran dan kesucian.

“Ini sebenarnya bukan cinta. Cinta tak akan menjerumuskan seseorang pada keburukan. Cinta tak pernah menenggelamkan orang pada nafsu-nafsu liar yang menghantarkannya pada kenistaan. Cinta justru mendekatkan pada kebaikan dan kesucian batin,” pikirku.

Cinta adalah jalannya para sufi untuk menjelajahi dunia hati. Berawal dari sebuah rasa yang tercipta untuk sesuatu yang tidak nampak, yang serba gaib. Namun mereka yakini memiliki keberadaan. Pandangannya bukan pada bentuk materi, namun pada bentuk yang masih misteri. Bagi mereka, cinta terhadap kebendaan mudah luntur. Sementara cinta pada bentuk yang misteri akan memiliki keabadian, dibawa hingga terkubur mati.

Sesaat lalu kuambil air wudlu. Kubasuhkan setiap tetesan air ke kulit tubuhku, meresap ke dalam diri melalui pori-pori. Kurasakan setiap sentuhan air yang menyucikan jiwa melalui aliran darahku. Inilah sentuhan dari lambang kebersihan dan kesucian, mengingatkanku akan sebuah rasa cinta yang perlu dijiwai dengan hati yang bersih dan ruh yang suci. Tumbuh subur dalam diri, tersirami dengan air wudlu.

Sesaat kemudian kumenuju persujudan. Rangkaian olah gerak dan olah batin bukan lagi menjadi rutinitas. Juga bukan hanya sebagai kebutuhan terdalam yang harus kupenuhi. Didalamnya terdapat keindahan-keindahan penyerahan diri yang tulus dalam ketundukan pada sesuatu yang membuat diri ini jadi tak berarti. Luntur segala kesombongan dan keangkuhan diri. Terkikis semua label dalam diri. Adanya kekosongan pikiran, lalu terisi oleh hati dan jiwa yang diolah dengan ilmu dari segala sumber ilmu yang diturunkan dari langit ke-7.

Lalu, penyerahan diri itu dirangkaikan dengan doa. Sebagai tanda satu-satunya tempat untuk diri ini bermohon dan meminta.

Doa yang kini kupanjatkan untuknya hanyalah sekedar ikatan hubungan antar saudara. Meski tak ada tutur kata darinya untukku. Juga tak ada tatapan hangat lagi untukku. Apalagi sentuhan-sentuhan bermakna dari cerita keluh kesahnya yang dulu sering diutarakan ke aku. Semuanya kini lenyap setelah kebodohanku untuk menyakiti hatinya.

“Dia terlalu baik untuk disakiti. Ia terlalu lembut untuk disentuh dengan kekasaran jiwa yang yang tak pernah dihaluskan dengan kesabaran dan keikhlasan. Sungguh, jiwa ini terlalu menuntut. Jiwa ini terlalu kering. Gersang, tak pernah menunduk dengan ucapan syukur dan terima kasih terhadap indahnya kehidupan,” keluhku pada diri sendiri.

Kadang saat kujumpai tatapannya, sorot matanya tajam menukik ke arah dasar kegelisahanku. .Sorot itu mengingatkanku pada kemarahannya terhadap cinta yang semestinya tak boleh sedikitpun menggores halus kulit tubuhnya. Apalagi menyanyat hatinya. Sementara aku seolah-olah merasa perlu mengiris hatinya, untuk tahu apakah ada cinta yang terpendam dalam sebuah harapan.

“Ia memang pernah kurasakan mengharap aku bisa menjadi tumpuan, tempat ia berpijak untuk menggapai apa yang ia inginkan. Ia seperti mau agar aku bisa menjadi pendampingnya saat ia butuh tempat untuk berkeluh kesah. Tapi aku selalu menuntut lebih dan lebih,” desah batinku.

Hatiku memang seperti kebanyakan hati manusia yang lain. Diberi satu, inginnya dua. Dipenuhi dua, maunya tiga. Dikasih tiga, pengennya empat. Kurang, kurang dan selalu kurang. Tak pernah ada cukupnya.

“Cinta yang seharusnya kuberikan padanya bukan berisi tuntutan-tuntutan. Mestinya berisi keikhlasan dan kesabaran. Mau menerima segala kukurangan dan kelebihan. Apa adanya. Tumbuh dari rasa saling membutuhkan, untuk berkendara menuju ke keagungan cinta yang dimiliki Tuhan,” ungkap batinku.
***


Helaan nafas di keheningan doa itu menghantarkanku pada resapan-resapan perjalanan cinta yang ingin kugapai. Satu per satu kuurai untuk mengingatkanku kembali, mana yang cinta dan mana yang bukan. Diantara doa dan doa, cinta pun hanya tersimpan dalam hati yang tak pernah berhenti mencari jati diri. (*)

Sudut Keheningan Kloofkamp - Jayapura, penghujung Juli 2008

0 comments:

Posting Komentar