06 September 2010

Mengenang 6 Tahun Kematian Munir 
Menikmati Munir Said Thalib Melalui Musik
catatan: Gatot Aribowo


Tak banyak mungkin orang mengenal Munir secara dekat. Namun bukan berarti sedikit orang yang mengenal perjuangannya melawan kekerasan dan menegakkan keadilan. Karena perjuangan ini akan terus berlanjut.
_______

MUSIK adalah bahasa universal. Tak ada sekat dan tak ada batasan untuk menikmatinya. Tak nampak perbedaan umur -tua muda, orang tua dan anak-anak- tak kelihatan pula strata sosial. Yang ada penyelarasan antara rasa, saat mendengar alunan nadanya dan mendengarkan liriknya. Inilah yang sanggup terciptakan ketika menikmati, tak sekedar mengenang Munir melalui alunan nada-nada. Tercatat sedikitnya 12 lagu yang terciptakan mengenang Munir, mulai dari Iwan Fals hingga band-band muda yang mengikuti Lomba Cipta Lagu Untuk Munir.


Powered by Gatot on eSnips.com

Rasanya tak hanya sekedar perjuangan untuk mengingatkan -melalui tajuknya Ikhtiar Melawan Lupa- namun juga ketika mendengarkan lagu-lagu untuk Munir sanggup memberikan kenikmatan tentang apa yang telah dilakukan Munir semasa hidupnya. Tentang perjuangannya menghentikan kekerasan dan meneriakkan keadilan mampu menggetarkan jiwa saat teriring dengan musik-musik yang ditujukan untuk mengenangnya. Getaran yang sanggup memberikan energi bagi siapa saja, utamanya jiwa-jiwa muda, untuk mengikuti jejak sang pejuang. Meneruskan langkah untuk berteriak menghentikan kekerasan dan menekan kekuasaan agar berbuat adil.


Pantaslah ketika Suciwati, istri Almarhum berkata, “dahsyat,” untuk memberikan apresiasinya ke lagu-lagu yang dipersembahkan buat Munir.


Pengaruh lagu memang dahsyat. Itu mungkin yang tanpa Iwan Fals sadari, Munir bisa saja terinspirasi dari lagu-lagunya tentang kritik terhadap kekuasaan.
Dalam Film Dokumenter Kiri Hijau Kanan Merah yang di-direct Dandhy Dwi Laksono terungkap Munir mengkoleksi keseluruhan kaset-kaset Iwan Fals. “Jangan-jangan almarhum terinspirasi dari lagu-lagu saya,” ungkap Iwan Fals dalam film dokumenter tersebut.

Saling menginspirasi. Antara lagu dengan apa yang diperbuat Munir dan Iwan Fals yang mencipta lagu Pulanglah, beberapa saat setelah mendengar kematian Munir melalui radio. Rasanya tak hanya sekedar sanggup memberikan kenangan, namun menikmati perbuatan apa yang dipesankan dalam lirik.


Demikianlah ketika menikmati apa yang telah dilakukan Munir semasa hidupnya melalui musik. Kenikmatan itu seperti terlirik dalam 'Masihkah Kita Takut' yang dibawakan Amir Sadewo. Aransemen yang lembut menggetarkan rasa dan menuntut pemberontakan jiwa untuk berteriak, “Hentikan setiap kekerasan, hentikan setiap pemaksaan, hentikan setiap penghilangan, hentikan!! Maju melawan!”


Saya yakin, jika lagu ini dipentaskan oleh band mana saja dengan penghayatan panggung akan mempengaruhi siapa saja yang mendengar dan melihatnya. Pesan liriknya begitu kuat, dan aransemennya begitu menyentuh jiwa-jiwa muda yang masih bisa diisi dengan idealisme.

Tampaknya inilah yang diinginkan Munir untuk jiwa-jiwa muda saat ini. Meneruskan perjuangannya untuk nilai-nilai kemanusian yang jauh dari kekerasan dan dekat dengan keadilan. Perjuangan ini bukan tanpa konsekuensi. Munir telah membuktikannya dengan pengorbanan nyawa. Mati di udara.

Ia mungkin telah menyadari bisa mati dimana saja. Di lautan, di trotoar jalanan ataupun di udara. Ini konsekuensi bagi semua orang yang memperjuangkan kebenaran. Konsekuensi akan mendapatkan ancaman dan teror. Meski begitu, hanya satu yang mungkin diingikan Munir, “Jangan berhenti!”


Sentuhan-sentuhan itu tercipta dari lagu 'Di Udara' yang dibawakan band Efek Rumah Kaca. “Aku bisa ditenggelamkan di lautan, ditikam di trotoar jalanan atau diracun di udara. Bisa dibuat menderita, bisa dibuat tak bernyawa. (Namun) Jangan berhenti!!”


Konsekuensi itupun akhirnya didapat. Munir telah tiada ketika 7 September, 6 tahun silam, ia diracun Arsenik dalam perjalanannya ke Belanda. Namun ia akan hidup dan melahirkan Munir-Munir baru. “Satu hilang, seribu terbilang. Patah tumbuh, hilang berganti,” kata Iwan Fals dalam lirik lagunya yang berjudul 'Pulanglah'. Lagu ini dipersembahkan Iwan beberapa saat setelah mendengar kematian Munir.


Perjuangan Munir akan rasa keadilan dan kemanusian tak akan pernah surut sampai negeri ini menyadari bahwa pahlawan saat ini bukan lagi milik tentara yang mempertahankan kedaulatan teritorial. Namun pahlawan saat ini bisa muncul dari siapa saja yang memperjuangkan kedaulatan manusia dan kedaulatan rasa keadilan negeri ini.


Pantaslah ketika Doddy R. Jatmiko mencipta lagu 'Pahlawan Sejati' untuk Munir. Atau Mila Dosy yang memberikan gelar 'Pahlawan Hak Asasi' dalam lagunya. Atau Nur Iman yang juga menyebut pahlawan dalam lagunya yang berjudul: Untukmu.


Munir mungkin merasa tak perlu digelari pahlawan oleh negara ini. Cukuplah ia mewariskan semangatnya ke anak-anak negeri untuk terus memperjuangkan keadilan dan rasa kemanusiaan. Ada kebanggaan anak-anak negeri itu yang memberikan gelar pahlawan buat Munir Said Thalib dalam lagu-lagunya.


“Pahlawan sejati, kau tak kan pernah mati, walaupun kini kau telah pergi, semangatmu tak pernah mati, perjuanganmu takkan terhenti tuk generasi dan masa depan negeri,” kata Doddy R. Jatmiko dalam lirik lagunya. (*)


0 comments:

Posting Komentar