12 September 2008

Jati Diri - Tentang Syukur

Tiada Hari Tanpa Terima Kasih


RANGKAIAN pemberian yang tiada habisnya, inilah sebenarnya yang dialami dalam keseharian hidup kita. Mulai dari udara yang kita hirup setiap harinya, lalu beranjak awal hari yang matahari selalu memberi terangnya, hingga air hujan yang membuat subur gersangnya bumi. Inilah rangkaian pemberian yang tiada batas. Belum lagi munculnya tangan-tangan pemurah yang mewakili sifat pengasihnya Tuhan, menjadikan hidup tiada hari tanpa pemberian.

Jika mau jujur, sebenarnya kita selalu dan selalu melupakan rangkaian pemberian itu. Yang setiap kita ingat adalah penuntutan-penuntutan yang membuat sesaknya hati dan pikiran. Mulai dari karyawan yang menuntut perusahaannya agar menaikkan gaji, rakyat yang menuntut pemerintahnya agar menurunkan harga BBM, anak yang menuntut orangtuanya agar membelikan kendaraan buat pergi ke sekolah, istri yang menuntut suaminya agar menambah uang belanja bulanan, hingga yang paling parah adalah tuntutan pada Tuhan agar mengabulkan doa.
Tuntutan-tuntutan ini menjadikan kita banyak yang lupa dengan satu kata yang membuat indahnya kehidupan ini bisa tercipta. Satu kata yang hanya sekali-kali saja terlintas dalam benak, padahal bila kata itu setiap hari, bahkan setiap saat dan waktu ada dalam pikiran, membuat langkah kaki berjalan dalam kedamaian dan ketenangan. Tak ada kemarahan, tak ada egois yang menimbulkan kedengkian, tak ada pula iri hati dan caci maki. Ujung-ujungnya rangkaian pemberian jadi berlimpah, bahkan tiada putus.

Satu kata itu adalah syukur. Ucapan terima kasih yang berasal dari hati, sehingga membuat cerahnya pikiran dan akal.

Satu kata ini tak perlu dirangkai dalam kalimat-kalimat yang indah. Karena satu kata itu sudah cukup indah. Menyimpan makna yang dalam dan mampu menghasilkan energi kehidupan yang kuat.

Sayang, banyak dari kita yang diberi petuah untuk berucap syukur di bibir. Tak diresapi saat kita menerima sesuatu yang sedikit. Maunya kita banyak. Kalau perlu semuanya untuk kita. Inilah keserakahan sebagai sifat dasar manusia yang sesungguhnya bisa diredam dengan satu kata ini.

Banyak terjemahan dari kata ini dilakukan oleh orang-orang yang telah berada dalam kesadaran yang mencukupi dengan cara melakukan doa. Banyak ragamnya. Namun yang pasti ungkapan syukur itu tidak hanya terucap dari bibir semata. Satu kata itu perlu menjiwai dalam setiap gerak langkah kaki dan tangannya.

Bila hati telah dijiwai rasa yang satu ini, derita dan kajahatan yang menimpa dirinya pun akan dirasa nikmatnya. Seperti yang dialami oleh seorang sufi yang pernah tercatat dalam sebuah buku: Kesedihan yang mendera sesungguhnya bisa mendatangkan berkah. Tak pernah menorehkan luka, justru memberikan kesempatan buat kita untuk meneguk air suci kehidupan, sekalipun dalam kegelapan.

Benar-benar mengagumkan.

Adakah yang bisa merasakan bahwa kesedihan tak pernah menorehkan luka? Adakah dari kita yang merasakan ketidakadilan justru tak pernah mendatangkan derita, malah mendatangkan berkah?

Rasanya sulit bila hati dipenuhi tuntutan yang membawa pikiran untuk berbuat yang sama terhadap ketidakadilan yang menimpa. Rasanya sesuatu yang susah dicapai bila hati tidak dipenuhi rasa syukur yang membawa pikiran agar balas dendam.

Namun jika hati selalu merendah dan berserah pada Sang Pemberi Kehidupan, derita tak akan pernah menorehkan luka. Kesedihan jadi teman yang menyenangkan selain kebahagiaan.

Dibaikin orang, terima kasih. Dijahatin orang pun terima kasih. Dianugerahi wajah jelek, terima kasih, dikaruniai wajah cantik atau tampan tambah terima kasih. Dikaruniai rejeki sedikit, terima kasih, dikaruniai rejeki berlimpah tambah terima kasih.

Di tanah ini, saya sering merasakan tuntutan-tuntutan yang muncul dari ketidakpuasan beberapa kelompok orang. Ada yang menuntut Otsus dikembalikan karena mereka rasa Otsus tidak membuat hidup sebagian besar rakyat sejahtera melainkan hanya menyejahterakan para pejabatnya. Ada pula yang menuntut kemerdekaan yang dipenuhi bayangan, jika merdeka maka kesejahteraan pun bisa dicapai.

Memang, ujung-ujungnya adalah kesejahteraan, dan menurut sebagian besar dari kita itu hanya bisa dicapai dengan uang yang cukup, bahkan berlimpah. Padahal, semakin dikejar, uang yang berlimpah pun dirasa semakin kurang dan kurang. Koleksi harta benda pun dirasa masih belum cukup. Akibatnya banyak dari kita yang terjebak oleh permainan sendiri. Terkungkung dalam lingkaran setan yang tak bisa diputus.

Ujung-ujungnya, kita melupakan apa yang disebut dengan rasa terima kasih. Saking lupanya, pekerjaan kita hanya menuntut dan menuntut. Tak mengingatkan akan kerja keras sebagai perwujudan rasa terima kasih.

Mengungkapkan rasa terima kasih dan syukur banyak ragamnya. Tidak cukup hanya dengan doa syukur. Tapi melalui kerja dan berusaha (berikhtiar) serta beramal melalui tangan-tangan pemurah dan pemberi. Inilah rangkaian perbuatan dari satu kata tersebut: berdoa, kerja/berusaha dan beramal.

Dalam sebuah pesan-pesan relijius yang pernah saya dapatkan, jika kamu diberi 1, syukurilah. Beramalah dengan setengahnya. Kelak kamu akan diberikan 3. Jika diberikan 3 kamu masih tetap syukur, beramalah dengan memberikan 2. Kelak akan diberikan 7. Apabila masih tetap kamu syukuri, beramalah juga dengan memberikan 4. Kelak kamu akan diberikan 40, dan seterusnya dan seterusnya.

Ungkapan pesan relijius ini bukan isapan bila rasa syukur ini terungkap dalam rangkaian pemberian pula. Ucapan terima kasih tak sekedar terucap dari bibir. Karena ujiannya adalah saat datang pada kita orang-orang yang memerlukan bantuan. Jika kita pelit bin kikir memberikan bantuan, berarti tak ada rasa terima kasih atas pemberian yang kita dapatkan. Jika kita enggan untuk beramal dengan apa yang kita miliki, bisa jadi rasa terima kasih kita sudah terkikis habis dari dasar hati. Akan menjadi sebuah ketragisan.

Dalam perenungan yang panjang, saya sempat terheran-heran dengan keadaan bangsa ini. Saya coba menelusuri. Bangsa ini dikaruniai kekayaan alam yang berlimpah. Hasil tambang tumpah ruah. Luas hutan sampai tak bisa diukur lagi. Tanahnya banyak yang subur dan bisa tumbuh berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupan. Belum lagi kekayaan lautnya yang terbentang dari pulau ke pulau, di dalamnya terkandung aneka ragam hayati yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyatnya. Namun justru bangsa ini terpuruk ditengah-tengah kekayaan alamnya.

Bila kita mau menyadarinya, bangsa ini sebenarnya tidak ada rasa terima kasih terhadap kekayaan alam yang diberikan. Hutan digunduli. Areal persawahan dan perkebunan dibabat habis dan dijadikan lahan-lahan yang sarat dengan konglomerasi dan megahnya real estate. Pengolahan tambang diserahkan pada bangsa lain. Laut pun dicemari dan tak dijaga dari jarahan kapal-kapal negara lain. Tragis.

Ditengah-tengah rangkaian pemberian yang tiada putus dari Sang Maha Pencipta, bangsa ini tak pernah mau memberikan yang terbaik buat dirinya sendiri. Sehingga rakyatnya pun dibiarkan dalam kemelaratan dan kebodohan yang membuat rasa syukur dan terima kasih hilang dalam kehidupan sehari-hari. Akhirnya yang ada rasa iri penuh caci maki dan kedengkian penuh tuntutan.

Sebagian dari kita mungkin masih ingat dengan lagu perjuangan yang judulnya “Syukur”. Didalamnya ada ungkapan rasa syukur terhadap tanah air pusaka dan kemerdekaannya.

Sungguh, bila rasa syukur ini terangkai dalam 3 perbuatan (doa, kerja, amal) maka tanah air pun akan membawa berkah dan kemerdekaan pun akan terangkai dalam bebas dari kemelaratan dan bebas dari kebodohan. Bukan sekedar merdeka dari penjajahan kolonial jaman dulu.

Adakah dari kita yang setiap harinya merangkai rasa terima kasih?

0 comments:

Posting Komentar