19 Oktober 2010

Yok, Bersahabat Dengan Linux

"Berterima kasihlah pada mereka yang telah mengembangkan tehnologi alternatif yang semakin user friendly, tanpa perlu kita membayar mahal, semahal kita membeli lisensi operating system dari Microsoft atau Apple"


MENGENAL Operating System Linux sejak pertengahan 2006 belum menggerakkan minat saya untuk menggunakan open source ini. Kendati telah memasang Ubuntu 7.0 di notebook dengan dual OS bersama Microsoft Windows XP Pro SP2, saya lebih sering menggunakan versi bajakan dari Windows tersebut. Bukannya malas belajar, namun bandwidth yang masih mahal membuat saya belum tertarik untuk menggunakan Ubuntu.

Bayangkan saja dengan koneksi dial up telkomnet@instan yang rate downloadnya tak sampai 2 kbps, unduhan codec-codec untuk membuat Ubuntu mampu memutar file MP3 tak akan mungkin dilakukan. Sementara instalasi Ubuntu sendiri belum melengkapi dirinya dengan codec yang bisa memutar musik sembari bekerja.

Ketika saya mendapat kiriman Blank-On 3.0 yang merupakan turunan dari Ubuntu, hati saya kembali tergerak untuk mencoba open source Linux. Blank-On sendiri telah menyertakan codec untuk memutar file lagu dalam instalasinya. Sayang, ketika codec untuk memutar file movie tak disertakan dalam instalasinya, minat saya untuk menggunakan distro Linux ini menjadi surut. Akhirnya kepingan DVD Linux dari berbagai distro, mulai dari Blank-On, Ubuntu, Redhat hingga G-OS serta lainnya yang berjumlah belasan itu nganggur tak terpakai.

Mahalnya bandwidth ketika itu juga membuat ketergerakan minat saya untuk mensosialisasikan Linux di Jayapura menjadi kendor. Padahal beberapa teman sudah saya tawari kendati mereka menyambutnya dengan pesimis. Banyak teman yang berpandangan miring dengan Linux dan lebih suka bergelut dengan operating system bajakan dari Windows. Alasannya: perlu waktu longgar untuk belajar dan belum tentu user di Jayapura mau menerimanya.

Alasan ini jelas bagi saya tak masuk akal. Karena bagi sebagian besar orang yang berminat dengan tehnologi informasi modal awalnya adalah kemauan untuk mempelajari tehnologi. Dan user, apalagi yang newbie akan mau menerima jika tehnologi tersebut friendly user, alias bersahabat dan mudah dipelajari. Linux sendiri dalam perkembangannya tak lagi text interface. Dukungan GNOME yang merupakan aplikasi desktopnya, Linux telah menawarkan grafik interface seperti Windows. Tentu ini akan menjadi mudah bagi Linux berkembang di masyarakat pengguna komputer.

Alasan yang utama bagi saya tentunya adalah ketersediaan akses internet yang masih mahal. Bayangkan ketika produk PT Telkom Indonesia yang ber-merk Speeedy belum ada. Bandwidth lebar hanya disediakan oleh provider dengan ongkos yang jutaan setiap bulannya. Tentu ini tak bersahabat buat Linux yang memerlukan koneksi internet untuk melengkapi dirinya agar bisa menyamai Windows. Mulai dari memutar file musik, file film hingga membaca file pdf.

Bagi pengguna rumahan seperti saya, dengan bandwidth yang sekarang bisa didapat Rp 150 ribu per bulan berkecepatan up to 384 kbps, download codec G-Streamer untuk memutar file musik dan video tak sampai 10 menit dapat disedot. Bahkan rilis versi terbaru dari Ubuntu siap diunduh dengan waktu tak sampai 3 jam. Biaya bandwitdh itupun masih bisa ditekan dengan patungan (saweran) dari berbagi koneksi internet bersama tetangga.

Inilah yang membuat saya berani mencoba Ubuntu. Karena ada kebanggaan ketika lainnya masih menggunakan Windows, yang mungkin masih bajakan. Kebanggaan ini yang membuat saya mencoba terus bertahan mempelajari hal-hal baru dalam lingkungan Linux. Karena ada satu yang masih belum saya pelajari, dari apa yang telah saya bisa dalam lingkungan Windows. Yakni: Scribus. Olah grafis untuk mendesain koran. Ingin lincah, selincah saya menggunakan Page Maker atau Indesign dari Adobe yang bekerja untuk Windows atau Apple. (*)

0 comments:

Posting Komentar