28 Mei 2009

opini - Malu Sebagai Budaya

Malu Dooong………!

SEORANG mantan pejabat tinggi di Korea Selatan dilaporkan bunuh diri hanya gara-gara malu dituduh melakukan tindak pidana korupsi. Begitu warta koran yang saya baca belum lama ini. Sementara itu, seorang pejabat di Kabupaten Blora tanpa malu-malu melenggang di podium rapat, padahal statusnya narapidana berpangkat tahanan dan berkantor di penjara. Begitu warta dari teman, saat saya menginjakkan kaki di Blora ini setelah sekian lama meninggalkan tanah Jawa untuk menjalankan tugas-tugas jurnalistik di Papua.



Kontras memang beda antara kelakuan pejabat negeri ini dengan negeri seberang, Korea Selatan. Maklum, kita tidak memiliki budaya malu. Sementara di tanah seberang budaya malu berurat akar dalam nadi masyarakatnya. Jadinya seorang pejabat yang baru dituduh melakukan tindak pidana korupsi saja, saking tak kuat menanggung rasa malu sampai-sampai bunuh diri. Gila.

Apakah budaya ini bisa berlaku di negeri ini? Entahlah.

Tapi yang pasti orang Indonesia, apalagi wong Blora akan enggan diminta bunuh diri hanya gara-gara pernah jadi maling uangnya rakyat. Tak akan pernah mau mengakhiri hidupnya hanya karena pernah makan uang hasil korupsi. Lha urip kepenak kok arep bunuh diri goro-goro menyandang status tahanan…, opo maneh nembe tertuduh, durung terbukti…edan po?

Malu tentu bukan ranah hukum. Ia berkaitan dengan moralitas. Masuk dalam ranah sosial. Bicara malu bukan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar atau salah. Tapi merupakan sanksi sosial. Sanksi ini sepertinya di negeri seberang, utamanya di Jepang dan Korea, lebih besar dan lebih berat dari sanksi pidana (hukum). Tentunya sanksi ini bersifat personal. Diri seseorang akan merasa malu –merupakan sanksi sosial- jika melakukan sebuah kesalahan atau pelanggaran. Sulit tentu untuk membuktikan teori kebenaran; apakah seseorang yang baru tertuduh benar-benar melakukan kesalahan atau pelanggaran jika telah bunuh diri.

Karena ranah sosial, malu bisa dibudayakan. Membudayakan tentu bukan persoalan gampang atau susah. Tapi persoalan waktu. Butuhnya bukan hanya cukup satu sampai dua hingga lima tahun. Minimal 25 tahun ke depan; 1 generasi.

Mantan Presiden Soeharto (semoga Tuhan mengampuninya) tidak butuh waktu lama untuk membudayakan korupsi dalam sistem pemerintahannya dan sistem sosial negerinya. Cukup belasan tahun. Karena budaya korupsi ternyata telah tumbuh berkembang di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Berakarnya dari tubuh tentara saat itu. Karena persoalan ekonomi yang memorat-maritkan anggaran negara, banyak tentara saat itu yang kerap melakukan korupsi. Salah satunya Soeharto saat menjabat Pangdam Diponegoro tahun 1958-an. Bersama kroninya, Bob Hasan, beras dan logistik lainnya yang ada di gudang Kodam dijual ke Singapura.

Berbeda dengan malu, sepanjang sejarah, tanah di negeri ini tidak pernah mewartakan atau mencatat malunya seseorang yang telah melakukan kejahatan, kesalahan dan pelanggaran. Tapi sejarah mencatat, tanah ini sering terjadi perebutan kekuasaan (tentunya juga harta benda dan wanita) yang berujung dengan pertumpahan darah. Mulai dari Singosari hingga masa penjajahan Belanda [ingat dengan politik adu dombanya, sehingga sesama bangsa sendiri saling memakan nyawa], sampai terakhir kekuasaan Soeharto yang menghabisi nyawa beberapa mahasiswa Trisakti tahun 1998.

Di alam demokrasi yang krannya mulai terbuka sejak masa pemerintahan Soeharto, malu sebetulnya sangat ideal untuk turut menjadi budaya. Darimana memulainya, dan kapan?

Dari sejak manusia Indonesia memutuskan untuk melahirkan generasi baru dan mulainya saat generasi itu bertumbuh dan berkembang. Singkat kata: budayanya dari keluarga dan rumah. Orang tua mulai berpikir untuk menanamkan rasa malu terhadap anak-anaknya yang mulai tumbuh. Tentu saat orang tua mulai berpikir untuk malu, dalam menjalankan rutinitasnya setiap hari akan berhati-hati.

Misalnya saja dalam berkendaraan. Ketika orang tua dulu masih remaja akan malu jika mengenakan helm, kini saat jadi orang tua akan merasa malu jika berkendaraan tidak mengenakan helm. Lalu, misalnya juga: saat membuang sampah. Sewaktu dulu masih remaja tidak pernah malu buang sampah sembarangan, kini telah jadi orang tua malu buang sampah tidak pada tempatnya.

Jika orang tua sadar untuk memiliki rasa malu –secara otomatis akan tertanam malu pada dirinya sendiri- maka bisa ditularkan ke anak-anaknya. Misalkan: si anak yang telah diajarkan kencing di kamar mandi, suatu ketika kencing sembarangan. Si orang tua cukup bilang, “Malu dooong, kencing sembarangan.”

Melalui bahasa ini, yang diulang terus menerus, kelak si anak akan tumbuh dengan sendirinya membawa rasa malu dalam dirinya sendiri. Pastinya jika orang tua sadar untuk melahirkan generasi yang memiliki budaya malu. Tapi persoalannya, tidak semua orang tua Indonesia sadar untuk menanamkan budaya malu pada generasi berikutnya. Bahkan hampir semua manusia Indonesia, mungkin termasuk “wong” Blora, tidak pernah berpikir untuk melahirkan anak-anaknya yang berperilaku malu.

Lalu, apakah kompleksitas manusia Indonesia yang melahirkan generasi-generasinya itu diserahkan pada sekolah agar mengajarkan budaya malu? Bisa saja. Tapi itu tidak cukup. Kunci utamanya memang ada dalam keluarga. Sangat memungkinkan ketika pasangan menikah diberi nasehat perkawinan, selain membentuk keluarga sakinah juga membentuk keluarga yang memiliki budaya malu, kelak pada anak-anaknya.

Sementara di sekolah, pendidikan perilaku tidak perlu masuk dalam kurikulum. Sia-sia. Kurikulum pendidikan Agama saja tidak mampu membentuk anak-anak berperilaku agamis. Bahkan dari tahun ke tahun, sejak saya masih sekolah hingga sekarang, moralitas anak-anak usia ini makin mengkuatirkan. Buktikan saja dengan banyaknya warta tentang anak sekolah yang berperilaku mesum atau anak sekolah yang suka berdekatan dengan budaya kekerasan.

Membentuk perilaku (budaya) anak-anak agar memiliki malu, menurut saya tidak perlu dimasukkan dalam kurikulum. Karena ranah budaya, perlakukan seperti halnya dalam lingkungan sosial kemasyarakatan. Jadikan malu sebagai bagian dari budaya sekolah, seperti halnya disiplin sebagai bagian dari budaya tentara. Sangat efektif saat diberikan pada anak usia SMU.

Caranya?

Banyak cara yang bisa dilakukan sekolah untuk membudayakan malu pada anak-anak yang diserahkan orang tuanya untuk dididik para pengajar. Social School Punishment (sanksi sosial dalam sekolah) bisa berupa pembelajaran [bukan pembinaan] pada anak-anak yang melakukan kesalahan dan pelanggaran.

Pembelajaran berbeda dengan pembinaan. Sekolah bukan lingkungan kerja bagi anak-anak. Sehingga salah jika dibina. Sekolah adalah tempat belajar untuk menjadikan anak-anak sebagai seorang pembelajar.

Punishment (sanksi) agar bisa menjadikan anak memiliki rasa malu saat melakukan kesalahan dan pelanggaran bukan cara dengan disuruh berbaris dihadapan anak-anak yang lain lalu ditampar satu-satu, seperti warta dalam kasus guru di Gorontalo beberapa waktu lalu. Atau distrap di depan kelas seperti saat jaman saya sekolah, agar anak merasa malu di depan teman-temannya. Sanksi ini memang lebih baik dari sanksi yang bersifat kekerasan. Paling tidak cukup membuat malu si anak di depan teman-teman sekelasnya.

Tapi itu kurang. Karena si anak hanya dibiarkan berdiri di depan kelas tanpa diberi sebuah tugas pidato spontan di depan teman-temannya tentang hal yang berkaitan dengan “malu melakukan kesalahan atau pelanggaran.” Tugas ini selain bisa membentuk opini tentang “malu” juga melatih si pelaku kesalahan berbicara di depan forum. Apalagi jika si anak ini digiring ke lain kelas untuk “menyiarkan” kesalahan yang diperbuatnya.

Pembelajaran malu untuk membentuk sebuah budaya adalah dengan menciptakan opini di kalangan anak-anak bahwa malu haruslah ada dan tertanam bila melakukan pelanggaran dan kesalahan. Opini bisa dicipta melalui sosialisasi bahasa.

Ada sebuah penciptaan bahasa yang bagus saya temukan di sebuah markas Polisi Militer di Jayapura. Di salah satu dinding ruangan tertempel tulisan : “Disiplin itu Indah”. Bahasa ini saya kira mengena dalam budaya disiplin yang merupakan nafas tentara. Apalagi bahasa merupakan cermin sebuah budaya bangsa.

Dengan penanaman sejak sekarang, saya yakin, paling tidak 30 tahun lagi budaya malu akan menjadi salah satu budaya negeri ini. Apakah bisa? Tergantung generasi saat ini; ingin menciptakan budaya malu apa tidak pada generasi berikutnya. (*)

0 comments:

Posting Komentar