23 Juni 2009

Mencari Tahu Kehidupan Malam di Jayapura (Bagian 2)
BL Diluar Jam Kerja, Rp 550 Ribu

Bisnis terselubung ini tak ubahnya membuat lokalisasi tersembunyi di sudut-sudut kota Jayapura. Penikmatnya, mulai anak muda berduit hingga pengusaha, bahkan sampai pejabat.

Liputan: Gatot Aribowo

GADIS-gadis seksi itu terpajang di akuarium. Ini istilah buat ruangan di salah satu bar yang menjadi tempat gadis-gadis bar berkumpul sebelum turun dibooking. Ukuran ruangan sekira 4 kali 6 meter. Ada kaca lebar di bagian depan, samping pintu keluar masuk. Pengunjung bisa melihat ke dalam melalui kaca ini, memilih gadis-gadis bar yang akan dibookingnya.

Dari dalam, gadis-gadis bar itu tak bisa menyaksikan pengunjung yang  hendak memilih-milih. Jadi aman buat pengunjung yang dikenali oleh gadis bar.

Serra duduk di salah satu kursi yang ada di sudut kiri. Kadang ia asyik bercengkerama dengan teman di sebelahnya. Sesaat ia menerawang, memikirkan anaknya yang jauh di kampung halaman.

Jauh dari Kota Manado, 8 jam perjalanan ditempuh, akan sampailah di sebuah kota yang menjadi tempat lahir dan besarnya Serra. Kotamubagu, Kabupaten Bolaan Mongondow, menyimpan kenangan panjang. Di sana, Serra meninggalkan 1 anaknya yang masih umur 5 tahun.
 

"Dia ikut neneknya," lirih suaranya, hampir tenggelam dentuman suara sound sistem ruangan hall.
 

Menikah di usia 16 tahun, Serra sempat mengecap kebahagiaan selama 9 tahun bersama suami dan anaknya. Sayang, disaat-saat bahagia itu sang suami menyakiti hatinya. Ia pun minta cerai.
 

Saya tak mau menanyakan lebih jauh persoalan rumah tangganya itu. Bagi saya, menjadi pendengar yang baik untuk persoalan yang satu ini adalah tanpa menanyakan lebih jauh. Bisa membangkitkan kenangan lama yang akan menggores luka lama.
 

"Aku sempat stress. Lalu datanglah tawaran teman di Jayapura yang kerja di tempat ginian," kata pemilik ukuran sepatu 37 ini.
 

"Trus, kamu langsung mau?" tanya saya.
"Tidak juga. Aku tanyakan kalau kerja di bar itu bagaimana, trus apa seperti gadis-gadis panggilan."
 

"Jawab dia apa?"
"Dia bilang, 'kerjanya cuma duduk-duduk aja. Temani tamu minum bir. Kalau diajak keluar untuk booking, tergantung kamunya saja. Kalau mau ya bisa, kalau gak ya gak papa.'"
 

"Lantas," kejar saya.
"Aku langsung mengiyakan."
 

Sejenak Serra mengambil botol bir dan mengajak saya minum. Saya menurutinya. Sekedar menemani. Telah 5 botol ia tenggak semalaman itu. Tambah 2 bersama saya, jadinya 7 botol malam itu. Saya sendiri tak terbiasa minum bir. Hanya sesekali.
 

"Udah terbiasa minum bir?" penasaran saya.
"Baru di tempat ini. Dulu di kampung aku malah aktif ikut pengajian."
 

"O iya?" seru saya serasa tak percaya. Ibu muda yang sering pengajian bisa-bisanya terjun dalam kehidupan malam seperti ini.
 

"Kalau merokok memang kebiasaan. Lingkungan yang mengajarkan," selanya. "Sehari bisa 2 bungkus."
 

Dihisapnya dalam sebatang rokok Sampoerna A Mild yang terselip diantara jari lentiknya. Lalu ditariknya tanganku, mengajak berdiri. Irama hip-hop membuatnya ingin melepaskan penat setelah duduk-duduk. Saya sendiri kurang menyukai jenis musik ini. Keletihan akhirnya membuat saya menariknya duduk kembali.
 

"Ada gak tawaran dari tamu untuk ajak kamu booking keluar?"
"Banyak."
 

"Lalu?"
"Kutolak. Kalau ada yang memaksa, langsung kutantang; berani bayar berapa?"
 

"Mereka jawab?" kejar saya.
 

"Rata-rata pada diam," sahutnya. "Pernah ada yang pejabat yang memaksa. Sampai minta-minta ke mami. Bahkan anak-anak buahnya yang ikut, membujukku. Kopor isi uang puluhan juta juga dititipkan ke mami untuk membujuk saya."
 

"Terus?"
"Ya aku tak mau saja."
 

Serra termasuk satu diantara sedikit cewek-cewek bar yang tidak mau melayani booking luar. Ia tak tertarik untuk mendapatkan tambahan uang dari melayani nafsu liar penikmat kehidupan bar.
 

"Kalau misalkan booking luar, berapa?" tanya saya.
"Kalau sudah booking duduk, kena cas 200 ribu. Diluar jam kerja, 550 ribu. Itu buat mami. Kalau untuk ceweknya beragam."
 

"ooo..." melongo saya. Untuk ukuran kantong saya jelas akan terkuras. (*)