23 Juni 2009

Mencari Tahu Kehidupan Malam di Jayapura (Bagian 1)
Booking Duduk Rp 50 Ribu

Bisnis prostitusi di bar-bar bukan rahasia umum lagi. Dikenal dengan BL (Boking Luar), bisnis ini jadi bisnis sampingan bar-bar di Jayapura. Lalu adakah trafficking?
ilustrasi dugem
Illustrasi


Liputan: Gatot Aribowo

LAJU kendaraan roda empat yang kami tumpangi perlahan mendekat areal parkiran sebuah bar yang ada di kawasan Entrop, Jayapura. Berderet di kawasan itu ada 2 bar berhadapan. Satu bar di sisi kanan pindahan dari bar yang ada di Polimak.

Bar di sisi kiri areal parkir sudah tak muat. Sedikitnya 18 mobil berderet di areal parkir dalam itu. Sementara bar di sisi kanan masih ada yang kosong. Tampaknya kalah saingan dengan tetangganya. Tujuan kami ke bar di sisi kiri. "(suasana) Musiknya lebih enak," kata kawan yang duduk di sisi kiri sopir kami.

Ia cukup mengenal kehidupan bar. Ia termasuk unik. Tak suka minum bir dan tak suka ditemani wanita.
Tapi sangat heboh. Apalagi saat musiknya hip-hop. Tubuhnya yang bulat padat akan jingkrak-jingkrak. "Saya berkunjung ke bar untuk menikmati musik dan suasananya. Kalau minum, hanya pesan aqua. Bisa habis lebih lima botol, hahahaha...."

Sesaat arah parkir kami menuju areal luar. Di situ juga telah berderet kendaraan roda empat. Malam minggu itu sepertinya padat pengunjung. Benar, saat kaki kami melangkah masuk di hall bar, meja telah terisi semuanya. Terpaksa berdiri sejenak. Pengunjung yang menemani berdiri juga banyak.

Asap rokok menyesaki udara ruangan dingin ber-AC. Hingar musik dengan grup band yang didatangkan dari Manado membuat kaki-kaki pengunjung berjingkrak-jingkrak. Botol-botol bir berderet di meja-meja pengunjung. Tawa cekikikan gadis-gadis bar bersama tamunya serasa tenggelam di tengah-tengah kencangnya tata suara ruangan hall.

Degupan suara bas yang keluar memicu jantung berdetak lebih kencang. Deg-deg-deg, terasa sekali dalam dada. Apalagi saya tidak terbiasa masuk ke bar. Hanya sesekali, sekedar memuaskan rasa ingin tahu kehidupan penikmat-penikmat hiburan malam. Saya sendiri sulit menikmati kehidupan seperti itu.

Bertemu dengan seorang kenalan yang bekerja di situ, saya memintanya untuk mencarikan satu gadis bar yang bisa saya ajak ngobrol. "Tunggu sebentar, Mas. Saya bilang ke mami dulu," ujarnya.

Mami sebutan bos di bar. Persis seperti panggilan germo di lokalisasi PSK.

"Berapa kena cas (bayar)," tanya saya.
"Kalau temani duduk ngobrol saja Rp 50 ribu. Kalau diajak keluar, tergantung negosiasi dengan ceweknya," sahut dia.

"Oke. Hanya temani ngobrol saja," pinta saya.

Tak selang lama kemudian, seorang gadis menyeruak diantara desakan pengujung. Bersama seorang perempuan paruh baya berkacamata, mereka mendekat ke arah meja 17, tempat saya duduk. Sepertinya itu maminya. Meja yang saya tempati beberapa saat lalu kosong ditinggalkan pengunjung sebelumnya. Buru-buru saya mengambil meja itu.

Gadis yang menjadi teman saya duduk itu berwajah manis. Rambut panjangnya tergerai, dikeramas setiap hari.

"Serra," ucapnya lirih saat berkenalan dengan saya.

Sejenak saya berdiam tanpa membuka sebuah obrolan. Sambil mengamati suasana tanpa mampu menikmatinya, saya mengawalinya dengan pertanyaaan, "udah brapa lama di sini?"
"Baru 8 bulan."

"Betah?"
"Ya dibetah-betahin."

"Dari Manado?"
"Iya."

"Ke sini (Jayapura) naik kapal?"
"Bukan. Pesawat."

"Berapa ongkosnya?"
"Waktu itu hampir dua juta."

"Biaya sendiri?"
"Dibiayai teman."

"Teman di mana?"
"Di Bar ini. Saya dari Manado memang ditawari teman untuk kerja di tempat beginian."

"Berapa orang dari sana?"
"Dua."

Saat saya melemparkan obrolan dengan pertanyaan yang menggebu-gebu itu, dia langsung bisa menebak kalau saya wartawan. Semula saya mengelak.
Tapi, "Kok tahu kalau saya wartawan," tanya saya akhirnya.
"Feeling aja."

Belakangan, penyuka warna pink ini bercerita kalau pernah dikunjungi tamu wartawan. "Jadinya saya langsung bisa menebak siapa kamu," kata janda berusia 25 tahun ini.

Serra tetap cerita terbuka dengan saya, kendati ia tahu saya pencari informasi.

"Masih ada pertanyaan lagi?" tantang pengguna shampo Rejoice  ini.
"Masih banyak. Tapi satu yang paling pokok."

"Apa itu?"
"Di sini ada trafficking gak?"

"Apa itu?"
Saya menjelaskan istilah itu, lalu modus-modusnya agar ia mengerti apa yang saya cari.

"Selama saya disini, tidak terjadi di bar ini."
Sesaat kemudian kami sibuk tenggelam dalam suasana hingar bingar. (bersambung)

0 comments:

Posting Komentar