25 April 2007


Wartawan (Trans 7) Ketika Garap Berita “Peluncuran Buku Biografi”


ALIH-ALIH hendak mencari penerangan siapa sebenarnya Soeharto, saya benar-benar kecewa dengan garapan berita yang dilakukan Trans 7. Justru lebih baik yang dilakukan SCTV ketika memberitakan Peluncuran Buku Biografinya Soeharto. Hanya menganggap sekedar berita. Meski semestinya tidak boleh dianggap seperti itu.

Buku Siapa Sebenarnya Soeharto yang digarap teman-teman Tabloid Detak yang saya dapatkan dari pinjaman kawan, menerangkan pada saya sisi-sisi Soeharto yang lain. Entah dari berapa sisi yang musti dilihat dari sosok seorang Soeharto, ketika ada buku Biografinya Soeharto yang ditulis dari “sisi Yayasan” yang berusaha ditulis se-obyektif oleh penulisnya.

Simpang siur. Tapi ada satu kepercayaan yang saya anut dari tulisan, adalah obyektivitas yang dilakukan wartawan seharusnya lebih obyektif dari penulis yang datang dari kelompok lain. Bukannya saya tidak percaya dengan penulis (non fiksi) dari kelompok lain, tapi wartawan dikenalkan dengan prinsip-prinsip jurnalisme (seperti yang dikenalkan Yayasan Pantau ke saya. Bravo.) yang obeyektivitasnya mustinya sudah terasah sejak awal dan terjaga hingga sekarang. (saya belum bisa melakukannya. Jujur!)

Entah berapa perspektif lagi, Soeharto harus ditulis. Tapi harusnya yang dilakukan reporter Trans 7 ketika menawarkan ke produsernya (redaktur) tentang adanya peristiwa peluncuran buku ber-perspektif sosok Soeharto adalah mengawali dengan apa sih isi dari buku itu? Tapi produsernya juga kurang memperhatikan apa yang harusnya dilakukan seorang wartawan.

Trans 7 pun memberitakan, “buku biografi tentang Soeharto diluncurkan.”

Sayup-sayup saya mendengar, sosok Soeharto dilihat dari yayasan-yayasan yang dimiliki, yang ditulis …..

Saya berpikir, “apakah dengan melakukan yayasanisasi, Soeharto ingin memunculkan bahwa sosok dirinya tidak benar-benar pendosa? Bukankah apa yang dilakukan jauh sebelum 1965 tiba, adalah yang dilakukan seorang pendosa? Ia (yang saya baca dari buku garapannya tabloid Detak) telah menjalin hubungan dengan Bob Hasan menyelundupkan Gula dan Beras ke luar negeri saat masih menjabat Pangdam Diponegoro di Jawa Tengah?

Soeharto adalah sosok yang (setelah) saya ketahui sebagai mafia yang sekian lamanya membibitkan mafia-mafia baru di negeri ini. Ini lah negerinya mafia, yang dibangun selama 30 tahun lebih oleh cikal bakal mafia.

Sosok itu saya ketahui ketika Soeharto ternyata tahu bahwa akan terjadi “Peristiwa G 30 S PKI”. Apakah wartawan (dan redaktur, specially Mufthi Akbar -Produser Redaksi Sore Trans 7- ) tidak mempelajari soal sejarah tentang Soeharto? Ternyata wartawan memang perlu banyak mempelajari hal-hal baru, termasuk mempelajari dari membaca buku tentang sejarah.

Baik lah. Tidak perlu jauh-jauh! Lanjutkan “berita” soal itu!

Buku ini pun disambut positif oleh yang hadir. Termasuk dari Bustanul Arifin . Sementara Bob Hasan memilih diam.

//SOUNDBITE BUSTANUL ARIFIN//

Apa sih yang dianggap positif? Ternyata tidak saya temukan jawaban itu. Yang muncul justru -kurang lebihnya-, “buku ini penting untuk mengimbangi buku-buku lain.”

Selanjutnya tidak diketahui tentang niat yayasanisasi dari Soeharto atau tentang apa yang dilakukan yayasannya Soeharto yang ada tindak mafianya ? Kemungkinan penulisnya menulis. Tapi wartawan belum membacanya? Kenapa wartawan tidak meluaskan perspektif? Kenapa hanya berputar di buku itu saja? Parahnya, kenapa tidak ada wawancara dengan penulisnya? Akan lebih baik wawancara dengan penulisnya dari tiba-tiba berita selanjutnya yang muncul:

DITENGAH-TENGAH MEROSOTNYA DUET KEPEMIMPINAN SBY-JK/ TERNYATA MASYARAKAT JUSTRU MENDAMBAKAN MASA-MASA KEPEMIMPINAN ORDE BARU, bla-bal-bla…..//

Jauh!!! Gak relevan!! Apalagi soundbite wawancara yang muncul dari orang awam yang tidak tahu siapa Soeharto. Lebih-lebih ketika wawancara yang muncul…-kurang lebih-

“….KALAU JAMAN DULU (ORBA) ORANG PADA PATUH, AMAN…”

Justru wartawan akan menyesatkan jika tiba-tiba wawancara dengan orang awam. Memang membandingkan adalah hak pemberitaan. Tapi kalau pemberitaan soal buku, hati-hati bung!! Mending hanya dijadikan “sekedar berita” daripada digarap. Sekedar diinfo saja. Bukankah esensi beita itu adalah informasi???

Kalau digarap, “informasikan apa sih isi buku itu? kenapa tiba-tiba menulis buku itu? uji obyektifitasnya!! Karena (biasanya) wartawan itu paling pintar menguji obyektivitas dengan independensinya. Harusnya. (*)

0 comments:

Posting Komentar