Media Televisi: Biangnya Kekerasan
Media televisi yang tayangkan kekerasan justru bisa jadi biangnya kekerasan.
“Stop! Sudaaa..h!”
Dengusan itu keluar dari mulut perwira intel polisi. Ia hampir saja menyelesaikan tontonannya pada peristiwa yang terjadi satu tahun lewat itu. Tontonan peristiwa Abepura, 16 Maret 2006 yang merenggut 4 nyawa teman-temannya.
Dengusan nafasnya sesaat dilalui dengan desahan yang mengelus dada. Desahan yang mengingatkan saya akan kesedihan yang saya lewati sejak setahun ini.
“(lihat) Bikin (mau) marah,” kata-katanya berlanjut.
Sesaat kemudian ia bangkit dari duduknya yang tepat dijajaran depan meja komputer. Ia sepertinya sedang menyadarkan dirinya untuk tidak nonton lagi. Sehingga ia secepat itu meninggalkan ruangan. Kakinya melangkah keluar seiring dengan langkah kaki saya masuk.
Sejak beberapa saat lalu kaki saya memang tertahan di depan ruangan yang punya pintu masuk dari samping kiri itu. Saya sengaja. Selain menghindari pengap ruangan yang saat itu disesaki tak kurang 8 orang anggota intel Poresta Jayapura, saya hanya ingin memastikan sesuatu.
“Mana yang namanya Sardi? Kok gak ada yang kukenal wajahnya dengan nama Sardi?” Benak saya menyakinkan kalau (mungkin) orang yang hendak saya tuju bukan nama Sardi.
Wajah dari seorang nama Sardi terlintas beberapa jam lalu. Wajah yang saya kenal sebagai tetangga tempat saya tinggal. Sayangnya saya tak pernah mengenal baik namanya. Kendati sayup-sayup saya seperti mengenal namanya. Saya pun belum lama tahu kalau wajah yang kukenal itu ternyata anggota polisi. Dulu saya mengenal wajahnya di KPUD Kota Jayapura. Saya kira ia pegawai di situ.
Malam sebelumnya, nama Sardi nongol dalam SMS dari nomor yang tak saya kenal. Nomor itu menyebut nama Sardi. Sementara saya merasa tak pernah mengenal nama Sardi.
Saya pun membalas SMS itu dengan menanyakan siapa dia. Balasan yang saya terima cukup membuat tensi darah saya naik. Saya tak perduli ketika ia menyebut dirinya Intel Polresta Jayapura. Sepertinya ia merasa sok sebagai intel, yang perlu dikenal wartawan. Sementara kata-kata yang keluar dari SMS-nya memuat makian ke saya. Saya pun membalas dengan menyebutnya orang tak berpendidikan, yang membuat ia langsung membalas dengan permintaan maaf.
Maksud SMS Sardi sebenarnya ingin meminta (dipertontonkan) rekaman gambar peristiwa Abepura 16 Maret 2006, yang saya miliki. Sementara banyak polisi yang telah memiliki gambar tersebut, termasuk satuan intel Polresta Jayapura.
Saya tidak tahu bagaimana ceritanya gambar itu bisa tersebar luas. Itu yang saya sesali ketika dulunya saya menyanggupi ketika gambar peristiwa itu diminta anggota reserse yang saya kenal baik. Karena dari situlah gambar (milik) saya menyebar luas. Gambar yang bisa menyulut kemarahan dan berlanjut pada kebencian.
“Itu yang sedang saya sebarkan?” Kata hati menuntut saya.
Kemarahan dan kebencian itu yang sesaat lalu ditunjukkan perwira intel polisi yang baru keluar ruangan. Tapi masih melekat di ruangan yang sedang menyelesaikan tontonan gambar di layar monitor komputer.
Dan, memang. Tanpa dikata pun sebenarnya kemarahan itu telah menerpa udara yang ada di situ. Kemarahan yang masih banyak disimpan anggota-anggota polisi di Jayapura. Udara itu pun saya hirup. Menyergap. Menyeret, mengajak diri terbawa arus kebencian, yang sesungguhnya saya jauhi. Arus kebencian yang berputar kencang pada gambar yang bercerita tentang sadisme dari kekerasan. Sehingga saya sadar. Membuat saya kembali mengingat gambar yang bercerita tentang kesedihan (sadness).
Setahun lewat. Tapi air mata yang diteteskan sore hari itu di depan ruangan UGD RSUD Abepura, Jayapura-Papua, masih tersimpan dalam kaset mini dv. Kaset itu masih saya simpan. Tak pernah saya putar lagi, kecuali permintaan orang lain. Sekali saja saya tonton sendirian. Ketika hari kejadian itu. Sebagai bagian dari pekerjaan juru kamera yang perlu melakukan preview, untuk cek hasil rekaman.
Pernah saya putar atas keinginan sendiri. Tapi itu hanya ke sebagian kecil orang disekitar, untuk mengetahui reaksi mereka terhadap sadism n sadness. Sementara saya di depan mereka lebih sering menonjolkan sadness. Kadang bila ingin menunjukkan latar (belakang) secara utuh, bagaimana peristiwa yang tidak disangka itu terjadi, saya memutarnya dari awal.
Kaset itu saya bagi 3 bagian cerita. Bagian cerita yang sering saya ikuti: bagian terakhir. Isinya bercerita tentang sadness. Sementara 1 bagian yang sering saya lewatkan adalah bagian tengah. Berisi gambar (yang sering disebut) sadisme. Bagian awal bercerita tentang proses peristiwa hari itu terjadi.
Jika gambar sadisme itu sedang berlangsung, saya justru memalingkan muka dari layar televisi ke orang-orang yang jadi penonton. Reaksinya macam-macam.
Ada yang menjerit (terutama dari kaum perempuan) dan banyak yang memaki, antara jengkel dan marah. Jengkel terhadap polisi yang tidak bertindak sigap, marah ke
massa yang berbuat sadis. Dua perasaan yang sering digarap jurnalisme televisi, disamping kesedihan.
Perasaan jengkel dan marah terasa juga pada gambar kekerasan di STPDN (IPDN) yang belum lama ini digarap beberapa stasiun televisi. Gambar yang terjadinya 4 tahun silam, diputar kembali. Berulang-ulang. Cukup berhasil mendorong pemerintah sekarang untuk mengubah wajah IPDN. Padahal pada jamannya gambar itu diambil dan ditayang 4 tahun silam, pemerintah (saat itu) tak bisa menghentikan kekerasan STPDN sehingga sekarang terulang lagi. (*)
0 comments:
Posting Komentar