05 Mei 2010

Sugiyono 
“Cah Mbloro” Beromzet Rp 1 Miliar


Awal kenekatan yang bermodal Rp 1 juta, kini omzet tahunan bisa mencapai Rp 1 miliar dengan keuntungan bersih sedikitnya 20 persen.

Oleh: Gatot Aribowo

________

DUA mainan sepeda air (water bike) berbentuk angsa itu turut memenuhi ruangan seluas tak lebih dari 40 meter. Yang depan warna kuning, di belakangnya warna merah. Di sekelilingnya berserakan bahan-bahan fiber glass. Siap digunakan untuk merangkai orderan mainan anak-anak yang terbuat dari bahan fiber glass.

“Dua mainan itu pesanan orang. Belum diambil. Tinggal mengantar saja dengan ekspedisi,” kata Sugiyono, ketika dikunjungi kru Momentum di rumahnya, di Kalioso, Kabupaten Karangayar, 15 KM dari Solo arah Purwodadi.


Dua mainan water bike itu harganya mencapai Rp 7 juta. Itu diluar ongkos kirim. “Kami tidak bertanggung jawab dengan ongkos kirim. Biasanya pemesan telah mencari ekspedisi terlebih dulu. Jadinya 7 juta itu bersih dari kami,” katanya.

Saat dikunjungi, Sugiyono tengah menyelesaikan orderan dari Lampung berupa water bike yang berbentuk kuda laut. “Tinggal memperhalus hasil cetakan dari fiber glass saja. Setelah itu dilapis untuk dasaran, sebelum dilakukan pengecatan,” ujar Sugiyono.
Proses ini, kata Sugiyono termasuk tahapan finishing. Tahapan yang paling awal adalah membuat desain gambar terlebih dulu. Gambar bisa dilakukan di kertas. “Seringnya,” lanjut Sugiyono, “melalui desain di komputer, lalu kita cetak di kertas.”

Desain tergantung dari pemesan. Sugiyono sering mendapatkan order setelah mempublikasikan usahanya melalui internet dengan alamat web-nya di http://www.rumahfiber.com.


“Sejak memasang website, orderan saya menumpuk. Datangnya dari jauh-jauh. Terjauh, ada yang dari Jayapura. Bahkan saya pernah menerima pemesan dari luar negeri, dari Malaysia. Pengusaha kelapa sawit,” kata bapak dua anak ini.

Setelah desain dibuat, proses selanjutnya adalah pembuatan cetakan fiber. Proses ini dimulai dari membuat patung. Jika desain yang diminta pemesan itu angsa, maka Sugiyono perlu membuat patung angsa dari semen. Setelah membuat patung, langkah selanjutnya membuat cetakan.

“Saat ini cetakan yang saya miliki baru angsa, dan terakhir kuda laut yang baru beberapa hari lalu selesai saya buat. Jika ada orderan dengan desain atau bentuk lain, saya siap menyanggupinya. Selain waterbike, saya juga menerima
orderan untuk playground, waterplay, kiddieride, minitrain maunpun fiberglass art lainnya,” kata Sugiyono yang beristri orang Solo ini.

Cetakan yang dibuat berbahan fiber juga. Untuk pembuatan produknya, cetakan dari fiber ini dilapisi sejenis bahan untuk memisahkan hasil produk dengan cetakannya. “Karena cetakan itu nanti akan kita siram dengan bahan-bahan fiber untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan desain. Setelah kering, kita pisahkan antara produk dengan cetakan. Baru tahap finishing,” kata Sugi, panggilan akrabnya.


Dari Dluwangan Menuju 1 Miliar


Sugiyono adalah perantauan dari Dluwangan, Blora. Lebih dari 10 tahun lalu ia memutuskan merantau ke Solo. Tepatnya usai Pemilu 1999. Keinginannya jadi bos buat dirinya sendiri kerap memaksanya keluar masuk kerja. Mulai dari staf di kepengurusan salah satu partai politik di Blora, hingga karyawan toko. Terakhir ia jadi karyawan di salah satu toko mainan anak-anak di Solo, sebelum memutuskan jadi seorang pengusaha, awal 2001.

Nalurinya untuk menjadi seorang pengusaha muncul ketika ia merasakan peluang yang cukup menjanjikan di bidang mainan anak-anak. “Potensi pasar untuk anak-anak adalah potensi yang cukup luas guna dikembangkan menjadi satu bidang usaha. Mulai dari makanan, sampai produk-produk mainan,” kata Sugi.

Setelah muncul peluang di pikirannya, Sugi mulai memberanikan diri untuk menemui salah satu pelanggan toko di tempatnya bekerja. Ketika itu uang di kantongnya yang menjadi simpanan hanya berjumlah Rp 1 juta. Pelanggan yang ia temui termasuk pedagang keliling mainan anak-anak. Pedagang itu biasa mengambil barang dari toko tempat Sugi bekerja.

“Tawaran pertama yang saya ajukan ke dia adalah mencari order, dengan keuntungan yang lebih jika dibanding ia mengambil barang dari toko tempat saya bekerja,” kisah Sugi.

Dengan Rp 1 juta, Sugi tak mau memberanikan diri untuk langsung terjun tanpa mendapatkan order terlebih dulu. Kenekatan yang ia ambil tentunya didului dengan perhitungan.

“Saya menghitung, untuk beli bahan bisa mencapai 300 ribu. Bayar tukang per harinya bisa 50 ribu. Kalau pekerjaan minimal 5 hari, sudah 250 ribu. Padahal paling tidak saya butuh 2 tukang untuk membuat satu produk sekelas water boom yang harga jualnya bisa sampai satu setengah juta,” cerita Sugi.

Mulanya, Sugi tak memiliki ketrampilan untuk membuat fiberglass art. Hanya modal keinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa malas saja yang akhirnya bisa membuat Sugi menguasai pembuatan fiberglass art. Perlahan, orderan pun mengalir. Puncaknya ketika ia mendapat pesanan dari seorang dokter Indonesia yang tinggal di Amerika sewaktu terjadi Tsunami Aceh, akhir 2004.

“Ada puluhan produk yang ia order untuk dikirim ke Meuleboh, Aceh.”


Usaha yang dilakoni Sugi selama lebih dari 9 tahun ini telah mengantarnya ke jajaran miliarder. Omzet yang ia dapat sepanjang satu tahun bisa mencapai Rp 1 miliar, dengan marjin keuntungan didapat sedikitnya 20 persen. Ia juga tercatat sebagai 3 besar pemain fiberglass art di Solo. Kini ia mempekerjakan karyawan sejumlah 15 orang, termasuk saudaranya dari Blora.

Sayangnya, ia masih enggan kembali ke Blora untuk memindahkan sentra produksinya. Alasannya: kebijakan pemerintah setempat yang tak berpihak pada pengembangan pengusaha-pengusaha. Sugi tetap memilih Solo sebagai sentra produksi. Ia pun telah membeli tanah seluas 520 m2 untuk kelanjutan usahanya, dengan memperhatikan tenaga kerja dari Blora. (*)

---- artikel ini diterbitkan di Surat Kabar Mometum Edisi Minggu IV Mei 2010 ----

0 comments:

Posting Komentar