27 Februari 2006

Dunia Lain Rimba Papua

Kangguru jenis pohon ditemukan di Papua BEGITU helikopter rombongan peneliti mendarat di sebuah situ kering di tengah rimba Papua, medio November tahun lalu, jarum jam seakan berputar cepat ke belakang. Bak menembus lorong waktu ke masa silam, para ilmuwan itu tiba di sebuah dunia asing, yang berkembang tanpa manusia.

 

Beberapa langkah dari tempat pendaratan heli, mereka bertemu dengan seekor landak berpelatuk yang sama sekali tak terganggu oleh kedatangan mereka.

Hewan berduri besar nan tajam dengan moncong lancip tanpa gigi itu bukan sembarang landak. Ia saksi evolusi peralihan reptil ke mamalia. Landak kuno itu berkembang biak dengan bertelur seperti biawak atau kura-kura, tapi menyusui seperti musang atau kucing.

 

Para peneliti juga menemukan kanguru pohon berbulu keemasan yang sama sekali tak takut melihat manusia. Begitu juga burung-burung yang terbang jinak di sekitar mereka. "Semuanya menunjukkan bahwa hewan-hewan itu telah berevolusi lama tanpa kehadiran manusia, sehingga tak menganggap manusia sebagai ancaman," kata Doktor Yance de Fretes, biolog dari Conservation International (CI) Indonesia.

 

kanguru_pohon Yance adalah peneliti yang mengoordinasikan ekspedisi biologi ke Papua yang telah menemukan dunia baru itu. Ekspedisi itu bukan cuma mendapatkan berbagai hewan baru, juga tumbuhan yang dipercaya telah hidup semasa Pulau Papua menyatu dengan daratan Australia, jutaan tahun silam.

 

Dunia baru itu terletak di Pegunungan Foja, atau disebut juga Foja, di Distrik Memberamo Tengah. Berupa hutan perawan seluas kira-kira 50.000 hektare, yang menjadi bagian dari daerah aliran Sungai Memberamo, sungai terbesar di Papua. Wilayah terisolasi itu diapit oleh Pegunungan Tengah di selatan dan Pegunungan Cyclops di sebelah timur.

 

"Secara geografis, wilayah itu terkurung sejumlah pegunungan lain yang tak memungkinkan fauna penghuninya menjelajah ke luar wilayah," kata Yance. Bahkan burung-burung tertentu yang sebenarnya bisa terbang jauh ke luar Foja seakan telah terikat tinggal di sana karena kekhasan habitatnya.

 

Kupu-Kupu yang ditemukan Bruder Hank Ekspedisi Foja dilakukan pada 9 November hingga 9 Desember 2005 atas kerja sama CI Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Cenderawasih, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Papua I. Empat peneliti asing ikut bergabung. Mereka berasal dari Australia, Amerika Serikat, dan Inggris, dan sudah lama terlibat dalam berbagai penelitian biologi di Papua.

 

Dalam ekspedisi itu, ditemukan berbagai hewan yang diyakini sebagai spesies baru, atau setidaknya sub-spesies baru. Juga hewan-hewan yang selama ini dianggap telah punah. Antara lain kanguru pohon mantel emas (Dendrolagus pulcherrimus), burung pengisap madu, dan burung mandur dahi emas (Amblyornis flavifrons).

 

Spesimen terakhir burung mandur, misalnya, ditemukan di Eropa pada 1895 dalam bentuk awetan. Kala itu, para ahli biologi sudah menduga, burung mandur berasal dari koloni Belanda di Asia Timur. Kini, setelah 110 tahun berlalu, baru diketahui, ternyata burung mandur hidup di Papua.

 

Tim ekspedisi juga menemukan kembali burung cenderawasih dari spesies Parotia berlepschidan, yang di wilayah Papua lainnya sudah nyaris punah. Tapi, kata Yance, cenderawasih yang ditemukan di Foja akan diusulkan menjadi spesies baru. Sebab bentuknya agak lain dan penyebarannya cuma di Foja. Begitu juga burung pengisap madu yang diyakini berasal dari genus Meliphagidae, tapi cuma ditemukan di Foja.

 

Ekspedisi itu juga menemukan sekitar 20 sub-spesies katak baru, antara lain katak mata jaring (Nyctimystes fluviatilis) dan katak Xenorhina arboricola serta lima spesies kupu-kupu. Stephen Richards, peneliti asal South Australian Museum, Adelaide, Australia, mengatakan bahwa katak mata jaring dan katak Xenorhina arboricola hanya ditemukan di Papua Nugini dan Foja.

 

Yang paling membanggakan adalah penemuan kanguru mantel emas. Selama ini, mamalia berkantong yang nyaris punah itu cuma ditemukan di Pegunungan Torricelli, Papua Nugini, pada 1981. Lantaran warnanya yang elok, kanguru mantel emas jadi pembicaraan para ahli mamalia selama 25 tahun. Tapi Yance yakin, kanguru yang ditemukan di Foja berbeda dengan spesies yang hidup di Torricelli. "Kedua lokasi terpisah jauh dan terisolasi," katanya.

 

Ekspedisi itu juga menemukan sekitar 170 spesies kupu-kupu. "Lima jenis di antaranya diyakini sebagai spesies baru," kata Bruder Henk, ahli serangga yang telah meneliti kupu-kupu Papua selama lebih dari 30 tahun.

 

Vegetasi yang menutupi puncak Foja juga banyak yang aneh. Umumnya didominasi pohon berdaun jarum yang dipercaya banyak tumbuh pada zaman ketika Papua masih jadi bagian Australia. Tercatat ada 550 jenis tumbuhan khas, lima di antaranya dianggap sebagai spesies baru. Tim juga menemukan 24 jenis palem-paleman, lima di antaranya dianggap sebagai spesies anyar.

 

Kini, semua spesimen fauna dan flora yang ditemukan di Foja tengah diteliti di LIPI. Menurut Yance, dalam beberapa bulan akan diumumkan nama-nama baru untuk spesies atau sub-spesiesnya. Hasil ekspedisi Foja menunjukkan bahwa rimba Papua menyimpan banyak misteri karena masih banyak yang belum terjamah manusia.

 

Papua merupakan salah satu pulau terbesar di dunia setelah Greenlands di belahan utara bumi. Pulau ini terbentuk dari lepasan lempeng Australia, jutaan tahun lalu. Karena itu, flora dan fauna yang hidup di Papua punya banyak kesamaan dengan yang hidup di Australia. Misalnya kelompok hewan berkantong, burung paruh bengkok, serta berbagai jenis tumbuhan Eucalyptus (kayu putih) dan jambu-jambuan.

 

Bahkan sejumlah hewan yang di Australia dianggap sudah punah diduga masih berkeliaran di belantara Papua. Pernah ada laporan bahwa masyarakat Pegunungan Jayawijaya pernah melihat anjing loreng yang mirip sosok macan Tasmania, yang sudah punah pada awal abad ke-20.

 

Tak pelak lagi, para biolog mengincar rimba Papua sebagai objek penelitian. Ekspedisi Foja sendiri merupakan lanjutan penelitian-penelitian sebelumnya, yakni Ekspedisi Wapoga tahun 1998, Dabra dan Yongsu (tahun 2000), dan Raja Ampat (2002-2005). Dalam ekspedisi-ekspedisi itu telah ditemukan kembali berbagai spesies fauna dan flora yang sebelumnya cuma ditemukan di wilayah-wilayah tertentu.

 

Ekspedisi Foja terfokus pada hutan di sekitar Sungai Memberamo, muara Sungai Manirim, dan muara Hotice di wilayah Pegunungan Foja. Ketinggiannya mulai 50 meter hingga 1.800 meter di atas permukaan laut. Kawasan ini dibatasi Teluk Cenderawasih di barat, Sungai Sepik di timur, Pegunungan Torricelli di utara, dan Pegunungan Tengah di selatan. Ada empat sungai yang mengaliri kawasan ini: Sungai Idenburg, Sungai Rouffaer, dan Sungai Memberamo sendiri.

 

Posko utama tim ekspedisi dibangun di Kwerba, kampung yang terletak di tepi Memberamo, Distrik Memberamo Tengah, Kabupaten Sarmi --hasil pemekaran Kabupaten Jayapura. Jaraknya sekitar 450 kilometer di barat Jayapura, atau sekitar satu jam 15 menit dengan pesawat kecil.

 

Ada 13 peneliti yang diterjunkan dalam Ekspedisi Foja. Mereka dibagi menjadi lima tim khusus, masing-masing Tim Burung, Tim Herpets, Tim Botani, Tim Mammals, dan Tim Insect. Burhan Tjaturadi dari CI Indonesia Papua menjadi koordinator lapangan. Ekspedisi juga melibatkan 63 warga Kwerba. Mereka bertindak sebagai pengangkut barang dan penunjuk arah.

 

Perjalanan menembus rimba ke arah puncak Foja dimulai pada 9 November 2005. Tim membangun tiga posko. Posko pertama tak jauh dari Kwerba, sedangkan dua posko terakhir didirikan di tengah rimba perawan pada ketinggian sekitar 225 meter dan 1.500 meter.

 

Tim beberapa kali melakukan pengamatan dari udara, tapi tak juga menemukan tempat pendaratan di puncak Foja karena selalu tertutup kabut. Namun akhirnya mereka menemukan sebuah danau kecil yang sudah mengering pada ketinggian sekitar 1.600 meter.

 

Beberapa bulan sebelumnya, danau kering itu ditemukan oleh Bruce M. Beehler ketika tengah melintas dengan pesawat jenis Cesna. Vice President for Melanesia for Conservation Biology CI itu langsung mencatat titik koordinatnya. Bruce adalah ahli burung yang sudah 27 tahun melakukan penelitian di seluruh Papua.

 

Akhirnya, pada 20 November 2005, heli mendarat di danau kering itu membawa sejumlah peneliti, dan terkuaklah dunia baru tadi. Tim Mammals yang dipimpin Doktor Kristopher Helgen --dari School of Earth and Environmental Sciences, University Adelaide, Australia-- langsung menemukan landak dan kanguru mantel emas.

 

Tim-tim lainnya yang melakukan penelitian sejak dari posko pertama juga mencatat berbagai penemuan. Tim Herpets yang dipimpin Stephen Richards dari South Australian Museum, Adelaide, berhasil menemukan 20 spesies baru katak --termasuk katak kecil yang cuma berukuran 14 milimeter.

 

Tim Herpets lebih banyak bekerja pada malam hari, karena katak memilih bersembunyi di siang hari. Perburuan dilakukan hingga sejauh empat kilometer dari posko terakhir. Tim Herpets melacak berbagai katak dengan cara merekam suaranya menggunakan tape recorder khusus.

 

Stephen yang telah melakukan penelitian katak di seluruh Papua selama 20 tahun amat mengenali karakteristik suara tiap keluarga katak. Telinganya sangat sensitif sehingga mampu membedakan katak biasa dan katak spesies baru. Stephen merekam suara katak dengan sangat hati-hati dari jarak tertentu. Setelah yakin suara itu berasal dari katak yang belum dikenalinya, ia segera melacak posisi katak itu dan menangkapnya.

 

Tim Botani yang dipimpin Doktor Johanis P. Mogen, peneliti utama pada Herbarium Bogoriense LIPI, mencatat 550 spesies tumbuhan, beberapa di antaranya dianggap sebagai spesies baru.

 

Tim Insect yang diketuai Bruder Henk van Mastrigt sukses menemukan berbagai spesies kupu-kupu. Lima jenis di antaranya diyakini sebagai spesies baru. Tim Insect lebih banyak melakukan penelitian di daerah berketinggian sekitar 250 meter. Henk meneliti kupu-kupu Papua sejak 1974.

 

Ekspedisi Foja akhirnya mencatat khazanah baru bagi biologi dunia. "Penelitian ini sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia dan dunia," ujar Doktor Dedi Darnaedi, Kepala Pusat Biologi LIPI.

 

Doktor Jatna Supriatna, Regional Vice President CI Indonesia, mengharapkan penelitian sejenis bisa terus dilakukan di Papua, yang masih banyak menyimpan misteri alam. "Hasil penelitian ini semoga dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah dan para pengambil keputusan untuk membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan konservasi alam," kata Jatna. Dengan kata lain, kebijakan yang lebih menguntungkan para pembalak kayu dan para pejabat yang melindunginya harus segera diakhiri.

 

Endang Sukendar, Elmy Diah Larasati, dan Gatot Aribowo (Jayapura) [Lingkungan, Gatra Nomor 16 Beredar Senin, 27 Februari 2006]

0 comments:

Posting Komentar