20 Maret 2006

Pasca Abepura Berdarah 16 Maret 2006

Kemarahan yang Belum Reda
3 kawannya meninggal mengenaskan. Didepan mata mereka. Dendam seperti menggelayuti. Tak perduli ke sesama anggota polisi, Brimob juga sering melampiaskan emosi.

oleh: Gatot Aribowo
tratatat…tratatat..tat..tat…tang..tang…

JUM'AT MALAM (17 Maret 2006), beberapa kali tembakan terdengar tak jauh dari Balai Wartawan, Kantor PWI Papua. Saka, salah seorang warga yang tinggal dilingkungan Kantor PWI Papua coba mengintip dari balik pagar. Tak ada anggota polisi yang menenteng senjata.

Sabtu paginya, kembali dia dengar beberapa kali tembakan. Dia berdiri di depan pagar Balai Wartawan. Dilihatnya seorang anggota Brimob berdiri dipinggir jalan, depan Polsek Jayapura Selatan menembakkan senapannya ke atas. Polsek itu letaknya 20-an meter dari Balai Wartawan.

Siangnya dia ketemu dengan temannya yang bertugas di Polsek Jayapura Selatan. Cerita-cerita, ternyata ada anggota Brimob Polda Papua yang memainkan senjata di Polsek. Tak ada anggota sesama polisi yang berani memperingatkan, atau melarang. Anggota Polsek diminta kerjasamanya oleh Brimob untuk mengamankan mahasiswa dari pegunungan –daerah gunung seperti: Wamena, Puncak Jaya, Tolikara, Pegunungan Bintang, Yahukimo dan Paniai- yang menyembunyikan diri di sektor Jayapura Selatan. Sebab banyak warga pegunungan yang merantau ke Jayapura dan menghuni di daerah Jayapura Selatan, utamanya pemukiman di belakang Kantor Walikota Jayapura.

Kantor Walikota itu letaknya juga tak jauh dari Polsek. Hanya dihalangi area kosong seluas lebih dari satu hektar, naik ke ketinggian. Jumat malam, Sabar, seorang warga yang tinggal tak jauh dari Kantor Walikota juga mendengar tembakan yang berasal dari pemukiman. Tembakan untuk menakut-nakuti.

Ketakutan memang menyelimuti warga –baik yang melintas atau bermukim- di daerah Padang Bulan, Abepura, Kotaraja hingga Entrop. Daerah Entrop hingga ke Jayapura kotanya, tak terdengar tembakan sama sekali.

Markas Brimob Polda Papua letaknya di Kotaraja. Jika diurut daerahnya dari Bandara Sentani ke Jayapura, urutannya sebagai berikut: Kabupaten Jayapura (kota kabupatennya Sentani), Buper, Waena, Padang Bulan, Abepura Kota, Kotaraja, Skyland (jalanan naik), Entrop, terputus ke dua arah menuju Jayapura yakni melewati Polimak dan Hamadi.

Kampus Uncen Lama, letaknya diantara Padang Bulan dan Abepura Kota, bersebelahan dengan Kampus STT GKI yang berhadapan dengan Lapangan Trikora.
Jalan penghubung dari Abepura ke Sentani hanya ada satu. Tidak ada jalan alternatif. Jadinya ketika diblokade (dipalang) lalu lintas akan lumpuh total.

Warga yang dari Jayapura dan Abepura ke Padang Bulan, Waena hingga ke Bandara di Sentani dan Sentani Kota tidak akan bisa melintas. Inilah yang menyebabkan beberapa penerbangan pesawat mengalami kerugian, selain aktivitas perekonomian lainnya.

Sedang dari Abepura ke Jayapura memiliki alternatif lain, selain melewati Markas Brimob di Kotaraja. Alternatif pertama: memutar ke lingkaran Abepura melalui Tanah Hitam tembus ke Skyland. Jalan ini merupakan ruas jalan utama juga. Sementara alternatif lain melalui jalan-jalan tikus, tanpa perlu melintas di Markas Brimob terletak.

Alternatif terakhir inilah yang digunakan pasukan Brimob mengatur lalu lintas ketika area jalan didepan markasnya mereka tutup. Penutupan jalan ini dibarengi dengan sweeping Mahasiswa Pegunungan. Sweeping terkadang dibarengi dengan tindakan kekerasan. Bentakan ke warga yang melintas dengan kendaraan sering terlontar. Emosi masih menyelimuti dari Kamis sore, 16 Maret hingga Sabtu pagi.

Jumat pagi sebetulnya aktivitas perekonomian di Abepura mulai berangsur-angsur pulih. Namun ketika beberapa anggota Brimob mulai keluar dengan kendaraan dan mengalungkan senjatanya, warga mulai ketakutan kembali. Anggota-anggota Brimob ini berseliweran disepanjang daerah Abepura. Diperbukitan-perbukitan yang mengelilingi Abepura sering terdengar rentetan senjata. Tidak hanya diperbukitan, kadang rentetan senjata terdengar ditengah-tengah pemukiman penduduk. Mencekam, bak film-film Koboi.

Anggota-anggota ini tidak lagi terkontrol. Bahkan Kapolda Papua Irjen Pol Tommy Jacobus berkata, “saya tidak bisa mengendalikan mereka. Cuma bisa menghimbau.”
Mereka melakukan sweeping sendiri. Tanpa komando.

Seorang anak berumur 10 tahun, Katrin Ohaee menuai emosi tindakan koboi yang dilakukan Brimob. Anak itu hingga Sabtu menjalani operasi pengeluaran peluru. Sebutir peluru nyasar ke punggung sebelah kanannya, Jumat siang, 17 Maret lalu.
Anak ini sedang mengambil jemuran bersama ibunya di belakang rumahnya yang terletak di depan Markas Korem 172/PWY di Padang Bulan, Abepura. Celakanya, posisi belakang rumahnya yang terlindung malah terhantam peluru nyasar.

Ketika saya hendak mengecek kondisinya ke Ruang Bedah RSUD Abepura, Sabtu siang, seorang Brimob berpakaian preman langsung melakukan pengusiran. Dengan nada bentakan, “atas ijin siapa kamu masuk sini. Sekarang keluar!” Tangannya menunjuk ke arah luar ruangan. Teriakan, “semua wartawan, keluar!”, cukup mengagetkan penghuni ruangan. Disitu tak ada wartawan lain.

Sebelumnya, saya sempat berjaga-jaga kalau ada anggota Brimob. Sialnya, saya tak melihat seorang anggota Brimob berpakaian preman. Dia berkaos. Namun ternyata celananya coklat, celana polisi.

Saya bersama dengan salah seorang kamerawan Global TV sempat mengambil gambar anak itu, Jumat sore. Kami sangat berhati-hati. Identitas disembunyikan. Kamera handycam mudah masuk tas. Berlagak menjenguk pasien, kami berhasil masuk ke ruangan.

Usai mengambil gambar, kami berencana cek situasi terakhir Abepura Kota. Baru saja turun dari jalan masuk ke rumah sakit, “tang…tang…tang…” 2 anggota Brimob pakaian preman mengendarai sepeda motor sambil mengacungkan senapan ke atas. Show force. Dibelakangnya, mengiringi kendaraan-kendaraan panser Yonif 751/BS, batalyon infanteri TNI yang markasnya di Sentani.

Tak perduli ke wartawan, anggota-anggota Brimob masih dalam keadaan marah. Ke wartawan, marahnya Brimob sudah timbul sejak penyisiran usai evakuasinya 2 anggota Brimob yang mati ditempat, Kamis sore. Mereka marah ketika hendak diambil gambarnya sewaktu menemukan 2 warga yang mereka duga masuk dalam barisan kelompok massa. Secara bergantian, anggota-anggota polisi menendang, menghantam, dan menghajar. Diseret. Tak berdaya. Lalu didorong masuk ke dalam mobil ambulans.

Masih belum puas, seorang polisi berpakaian preman mengambil kayu. Melalui jendela mobil ambulans, kayu dihantamkan ke tubuh tergeletak didalam. Setelah itu ambulans berlari kencang.

Wartawan kesulitan melacak keberadaan dua warga yang diangkut ambulans itu.
“Wartawan jangan ambil gambar. Ambil yang mereka (anggota kelompok massa) lakukan saja,” teriak salah seorang anggota polisi.

“Kalau mau ambil gambar, koordinasi dulu sama kita,” sambung salah seorang anggota di Humas Polda Papua.

Tak selang berapa lama kemudian, setelah mengambil data-data lapangan belasan wartawan yang masih bertahan dilokasi mundur, menuju ke Abepura. Tidak aman. Brimob dan polisi lainnya masih diliputi emosi atas kematian teman-temannya di depan mata mereka.

Beberapa wartawan televisi yang baru datang dari Jakarta, tanpa kontak dulu dengan wartawan setempat untuk menanyakan kondisi di Jayapura, malah ketiban marah dari Brimob.

Celakanya, ada beberapa yang kena pukul. Ada kamera dibanting. Ada yang kena tendangan sepatu laras dibelakang. Ada yang cuma dibentak, lalu surut menjauh. Ada yang waspada dengan mengambil gambar secara sembunyi-sembunyi. Ada pewarta foto, dari jarak jauh menggunakan tele-nya mengambil gambar blokade di seputaran Markas Brimob. Tak ada jalan lain lagi mendapatkan foto atau gambar untuk menginformasikan suasana sebenarnya di Jayapura saat itu. Bahkan asrama-asrama mahasiswa dari Pegunungan yang dirusak, tak ada wartawan yang meliput. Takut.

“Saya sudah mengambil foto-foto asrama mahasiswa dari Wamena yang dirusak,” kata Kapolres Wamena AKBP Robert Joensoe.

Robert, Jumat turun dari Wamena atas panggilan Kapolda Papua. Dia diperintahkan untuk menenangkan masyarakat Wamena yang ada di Jayapura. Rencananya masyarakat itu akan turun ke Jayapura untuk menggelar protes atas tindakan koboi yang dilakukan anggota Brimob.

Entah sampai kapan kemarahan itu akan mereda. Seorang teman aktivis dari Wamena yang baru saja tiba di Jayapura mengurungkan niatnya saat Sabtu malam, 18 Maret, hendak menemui saya di Jayapura.

“Saya di Waena. Kita ketemu hari Senin saja. Masih banyak anggota-anggota Brimob di jalanan. Terlalu riskan,” katanya diujung telepon. (*)

0 comments:

Posting Komentar