12 November 2009

Menarik Benang Merah Rentetan Peristiwa yang Menimpa KPK (Bagian 1)
Saling Memati-Matai dan Adu Jebak

Ketika polisi dan KPK saling memata-matai serta beradu jebak, dengan dalangnya duo Anggodo dan Anggoro.

Catatan: Gatot Aribowo

ADAKAH yang telah membangun teori: polisi memiliki sifat menjebak? Saya tak bertele-tele untuk berteori, bagaimana Susno Duadji, Non Aktif Kabareskrim Mabes Polri sampai berpikiran untuk menghadiahi pelajaran buat adik-adiknya di KPK.

Dalam pernyataannya di depan Tim 8, Susno mengakui kalau dirinya tengah disadap oleh KPK, terkait dugaan suap Bank Century. Alih-alih memberikan tanda kalau dirinya tahu tengah disadap, Susno justru membuat suatu permainan.

“Apa yang dilakukan Susno adalah kontraintelejen,” kata Adnan Buyung Nasution, ketua Tim 8 dalam jumpa pers yang disiarkan langsung televisi.

Tim 8 adalah tim yang dibentuk Presiden SBY untuk melakukan verifikasi kebenaran kasus Chandra dan Bibit.

Kontraintelejen yang dimaksud Ketua Tim 8 adalah saat tahu dirinya disadap, Susno berpura-pura menerima amplop yang diberikan Budi Sampoerna dan Pengacaranya dalam pertemuan di Bareskrim Mabes Polri. Padahal amplop itu kosong.

“Saya ingin memberi pelajaran ke adik-adik saya di KPK,” begitu ucap Susno di hadapan Tim 8, Jumat sore (6/11).

KPK sebelumnya curiga Susno ada main dengan Bank Century. Pasalnya, Budi Sampoerna melalui pengacaranya meminta bantuan Bareskrim Polri untuk membuat surat keterangan tentang tidak ada masalahnya uang yang dimiliki Budi di Bank Century. Jumlah uangnya tak sedikit, US$ 18 juta. Uang itu tertanam di Bank Century dalam bentuk deposito. Budi diminta Bank Century untuk membuat surat keterangan polisi yang menjelaskan bahwa uang yang dimiliki Budi tidak bermasalah. Dua kali Bareskrim melayangkan surat itu ke Bank Century. Yang pertama tidak menjelaskan jumlah uangnya. Yang kedua dijelaskan berapa jumlah uangnya. Susno disebut-sebut menerima Rp 10 miliar dari pencairan uang tersebut. Ada yang menyebut pula 10 persen. Sebutan-sebutan ini muncul karena Susno berpura-pura menerima amplop kosong saat tahu dirinya tengah disadap.

Belakangan, tak terbukti Susno menerima fee dari hasil pencairan uangnya Budi.

“Sebagai muslim, Lillahi Ta` Alla, saya tak pernah menerima uang itu,” ucap Susno saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, Kamis lewat tengah malam, (5/11).

Budi yang merupakan pamannya Putera Sampoerna –pemilik perusahaan rokok terbesar di Indonesia- memang hendak menarik uangnya karena kuatir Bank Century tak bisa mengembalikan. Bank Century saat itu tengah mengalami kolaps karena dananya digelapkan salah satu pemiliknya, Robby Tantular. Faktor lain yang membuat kolaps-nya Bank Century adalah rush (penarikan besar-besaran) yang dilakukan nasabahnya karena ketakutan akan datangnya krisis keuangan global yang sampai ke Indonesia. Dari sini pula alasan Bank Indonesia dan pemerintah melalui Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) menggelontorkan uang Rp 6,7 triliun untuk menyuntik modal ke bank tersebut. Dari kasus ini telah menyeret Robby Tantular ke penjara. Polisi juga tengah mengejar dua pemilik lainnya yang berasal dari luar negeri.

Pelajaran yang ingin diberikan Susno ke ‘adik-adiknya’ di KPK kemungkinan dilatari kekesalannya karena disadap. Apalagi dalam tubuh KPK mengalir darah polisi. Ada semacam rivalitas yang mungkin terbersit dalam pikiran Susno.

“Ada sekitar 126 – 128 anggota Polri yang (ada) di KPK,” kata Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri, biasa disingkat BHD, dihadapan lebih dari 30-an anggota Komisi III DPR RI Kamis tengah malam, (5/11).

Dalam tubuh KPK, selain mengalir darah polisi, juga jaksa serta pengacara. Lembaga ini sengaja dibentuk untuk mengakselerasi pemberantasan korupsi. Ditelurkan melalui Undang-Undang nomor 30 tahun 2002.

Berbeda dengan polisi, melalui undang-undangnya KPK mememiliki wewenang melakukan penyadapan. Dengan wewenangnya ini, KPK mampu menangkap tangan proses-proses penyuapan yang dilakukan seorang terdakwa ke aparat-aparat hukum di kejakjsaan. Tercatat jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima uang suap dari Artalita Suryani telah dijebloskan ke penjara.

Tak hanya aparat hukum sendiri yang telah dipenjarakan KPK. Mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah juga telah diseret ke penjara. Lalu, Deputi Gubernur BI Aulia Pohan yang merupakan besan dari SBY menyusul ke penjara pula. Bahkan, mantan Kapolri Jenderal Polisi (purn) Rusdihardjo yang pernah menjabat sebagai Dubes Malaysia turut dipenjarakan KPK karena terbukti terlibat dalam pungutan liar di Kedubes Malaysia.

Tak ketinggalan sejumlah politisi di Senayan berhasil ditangkapi KPK dan masuk penjara. Ada Al Amin Nasution, yang merupakan suami dari penyanyi dangdut Kristina. Terakhir ada nama Yusuf Erwin Faisal, mantan Ketua Komisi IV DPR RI mendapat vonis pengadilan 4,5 tahun setelah terbukti keterlibatannya dalam kasus alih fungsi lahan untuk pelabuhan Tanjung Api Api di Sumatera Selatan. Alih fungsi lahan ini telah menyeret sedikitnya 3 anggota DPR RI, termasuk Al Amin Nasution, serta mantan Gubernur Sumatera Selatan.

Dari Tanjung Api Api inilah muncul juga nama Anggoro Wijoyo, pemilik PT Masaro Radiokom. Anggoro diduga telah melakukan suap ke Erwin Faisal untuk memuluskan proyek revitalisasi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan. Dari sinilah Mabes Polri mulai ‘memata-matai’ kasus yang ditangani KPK. Apalagi setelah Anggodo, adiknya Anggoro bertemu dengan Susno Duadji di ruang Kabareskrim. Ditambah lagi pertemuan Susno dengan Anggoro di Singapura. (bersambung ke bagian 2 - klik disini)

---artikel ini diterbitkan di Harian Bintang Papua---

0 comments:

Posting Komentar