27 Maret 2006

Agenda Papua di Balik Visa

BILANGAN Senayan, Jakarta. Suasana rapat paripurna di Gedung DPR, Jumat pekan lalu, tiba-tiba menghangat. Bukan karena pendingin ruangan ngadat, melainkan lantaran sidang yang mengagendakan penutupan masa sidang pertama DPR yang harusnya adem-ayem malah dihujani interupsi. Sejumlah anggota DPR merasa gerah dan perlu bersuara. Mereka geram atas langkah Australia yang memberi visa kepada 42 warga Papua yang sejak Januari lalu ngendon di sana.

"Pemerintah tidak saja harus memanggil Dubes RI, tapi harus memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia," ujar Ali Muchtar Ngabalin, salah satu anggota DPR yang resah. Aroma amarah sungguh terasa. Ali meminta DPR sebagai lembaga tinggi negara bersikap tegas. Sikap Australia dianggap tidak menunjukkan persahabatan lagi terhadap Indonesia.

Sikap Ali diamini sejumlah anggota DPR lainnya. Ketua Fraksi PDIP, Tjahjo Kumolo, bahkan terang-terangan meminta pemerintah memulangkan Duta Besar (Dubes) Australia untuk Indonesia. Alasannya, Australia telah bertindak berlebihan. ''Negeri kanguru'' itu bukan kali pertama ini mencederai persahabatan dengan Indonesia. Kasus perlakuan tidak manusiawi terhadap nelayan Indonesia, kasus Timor Timur, dan perkara lainnya jadi contoh nyata.

Anggota Komisi I dari Fraksi PAN, Djoko Susilo, juga mendesak agar semua kerja sama dengan Australia ditinjau ulang. Bahkan Djoko merekomendasikan agar semua bentuk kerja sama yang menguntungkan Australia dihentikan. Jika tidak demikian, menurut Djoko, Indonesia akan terus dipermalukan dan dibuat mainan. "Australia tidak lagi menghargai Indonesia, karena itu harus diambil sikap yang jelas," kata Djoko.

Anggota Fraksi Partai Golkar, Yuddy Krisnandi, bahkan menuding Australia memiliki agenda tersembunyi di Papua. Yuddy yang juga anggota Komisi I DPR ini melihat pemberian visa tanpa dasar hukum itu melecehkan dan merusak persahabatan dengan Indonesia.

Protes keras dan kecurigaan para anggota DPR terhadap Australia itu bukan tanpa alasan. Australia ditengarai ''ngotot'' memberikan visa kepada warga Papua. Padahal, Pemerintah Indonesia sejak jauh hari telah meminta Australia mengembalikan mereka ke Papua. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah secara langsung mengutarakan keinginan Indonesia agar warga Papua itu dikembalikan ke daerah asalnya.

Toh, hal itu tetap tak jadi pertimbangan. Australia menampik segala upaya Pemerintah Indonesia. Menurut Amanda Vanstone, Menteri Imigrasi dan Multikultural (DIMIA), pihaknya sama sekali tidak melibatkan ''perasaan'' Indonesia sebagai pertimbangan. Selain dibuat secara independen tanpa campur tangan Pemerintah Australia, keputusan yang diambil instansinya, kata Amanda, merupakan putusan berdasarkan pertimbangan individu. "Kami mendasarkan pada hukum Australia yang mengikuti hukum internasional," ujar Amanda.

Kamis pekan lalu, pihak DIMIA memutuskan memberikan visa perlindungan sementara kepada sekelompok warga Papua yang menyeberang ke Australia. Kelompok berjumlah 43 orang yang dipimpin Herman Wanggai itu tertangkap oleh patroli pantai Australia di Pantai Cape York, Queensland, 18 Januari lalu. Herman yang membawa pula kelurganya meminta suaka kepada Pemerintah Australia.

DIMIA sah saja berkilah. Namun dugaan adanya intervensi di balik keputusan itu tetap tercium. Maklum, sebelum keluar pernyataan pemberian visa, Pemerintah Australia sempat menerima surat dukungan dari sejumlah anggota Kongres Amerika Serikat, antara lain Patrick J. Kennedy, Eni Faleomavaega, dan Donald Payne, akhir Januari lalu.

Para senator Amerika yang selama ini terkenal resek untuk soal kewilayahan yang menyangkut Indonesia, terutama Papua, meminta Australia tidak mengembalikan para warga Papua tersebut kepada Indonesia. Namun, apakah hal ini yang melatarbelakangi keberanian Australia? Tak jelas juga.

Yang pasti, hingga akhir pekan lalu, belum terlihat tanda-tanda Pemerintah Australia melunakkan kebijakan soal visa itu. Ketua DPR Agung Laksono sendiri memutuskan menunggu respons dari Pemerintah Australia untuk mengambil langkah selanjutnya. DPR, menurut Agung, juga merasa perlu memanggil Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda, untuk dimintai klarifikasi.

***
Di sudut Pejambon, Jakarta, tempat para diplomat meniti karier, aroma kekecewaan juga terasa. Maklum, masalah visa Australia untuk warga Papua itu tidaklah lepas dari urusan Departemen Luar Negeri. "Kami sangat terkejut, kecewa, dan menyesalkan kebijakan Australia tersebut," ujar Menteri Luar Negeri (Menlu), Hassan Wirajuda.

Hassan Wirajuda, yang sebelumnya sempat ditelepon ''counterpart''-nya dari Australia, Menlu Alexander Downer, perihal visa tersebut, cepat membuat keputusan. Dubes Indonesia untuk Australia, Teuku Mohammad Hamzah Thayeb, dipanggil pulang. Hassan kecewa karena berbagai upaya Pemerintah RI untuk meyakinkan bahwa warga Papua di Australia itu tidak dalam tekanan atau tengah dikejar hukum tidak digubris. "Level tertinggi pemerintahan sudah menjamin keamanan mereka bila kembali ke Indonesia," katanya.

Juru bicara Departemen Luar Negeri, Yuri Thamrin, melihat keputusan DIMIA itu sama sekali tak berdasar. Pemerintah Indonesia menganggap para pencari suaka itu sekadar migran ekonomi yang berusaha mencari kehidupan baru yang lebih baik. Yuri menyesalkan klaim tanpa dasar yang diajukan para pencari suaka itu telah diterima sebagai alasan pemberian visa. "Padahal, klaim itu sangat sepihak, tanpa mendengar pendapat dari Pemerintah RI," ujarnya.

Pemberian visa itu, tambah Yuri, merupakan preseden buruk bagi hubungan kedua negara. Pemerintah Australia sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan rakyat Indonesia terhadap isu ini. "Keputusan itu seolah membenarkan spekulasi yang beredar bahwa ada elemen-elemen di Australia yang membantu gerakan separatisme di Papua. Dan Pemerintah Australia tidak melakukan apa pun terhadap mereka," kata Yuri, yang juga merangkap sebagai Direktur Urusan Asia Timur Pasifik, Departemen Luar Negeri.

Tak mengherankan jika ayah dua putra, kelahiran 31 Oktober 1961, itu menengarai adanya standar ganda pihak Pemerintah Australia dalam kasus Papua. Maklum, ini bukan kali pertama Australia mengalami masalah dengan para pencari suaka. Sebelumnya Australia sempat disibukkan oleh persoalan masuknya manusia perahu asal Afghanistan. Namun Australia secara kaku dan keras menolak mereka. "Pencari suaka dari negara Timur Tengah saja ditolak tegas, sedangkan pencari suaka dari Indonesia malah dikabulkan dengan tergesa-gesa dan gegabah," tutur Yuri, gusar.

Keputusan DIMIA kali ini, menurut Yuri, bertentangan dengan semangat kerja sama bilateral, khususnya dalam mencegah imigran gelap. Selama ini, kedua negara berupaya keras untuk mewujudkannya. "Kebijakan ini bakal memperlemah komitmen negara-negara terkait dalam kerja sama pencegahan imigran gelap," katanya.

Menurut Yuri, selain ke-42 orang yang sudah jelas nasibnya, satu warga Papua lainnya kini dikabarkan juga mendapat visa dari Pemerintah Jepang. "Kami memang baru mendengar dan sedang kami cek," ujar Yuri.

Namun langkah protes dan penarikan dubes tampaknya belum cukup. Pihak imigrasi Australia sendiri tak terlalu memikirkan dampak pemberian visa itu. Kemungkinan adanya pemutusan hubungan diplomatik disuarakan kalangan DPR. Tapi Hasan Wirajuda mengaku belum membahas langkah sejauh itu. "Kami belum bicara sejauh itu," kata Hassan.

Apa pun itu, kini publik Indonesia menanti respons dari Pemerintah Australia. Maklum, hingga kini, lewat pernyataan Dubes Australia untuk Indonesia, Bill Former, Pemerintah Australia ternyata tak menyinggung rencana revisi pemberian suaka tersebut. Bahkan Pemerintah Australia selalu berkilah bahwa keputusan DIMIA merupakan keputusan independen dan bukan keputusan eksekutif.

Bill menegaskan kembali komitmen Australia yang tetap menghormati keutuhan dan integritas wilayah Indonesia. "Australia tidak mendukung separatisme atau kemerdekaan bagi Papua," ujar Bill Former.

Pihak DIMIA, menurut rencana, akan segera memindahkan warga negara Indonesia itu ke daratan Australia. Mereka akan diperlakukan laiknya warga penerima suaka lainnya di Australia. Menurut Amanda Vanstone, warga Indonesia itu bakal dipindahkan ke Melbourne. Bahkan 10 orang di antaranya sudah berada di Perth untuk mendapat pelayanan kesehatan. "Semuanya sehat untuk berbaur dengan masyarakat umum," kata Amanda.

Tentu, pimpinan warga Papua yang meminta suaka, Herman Wanggai, menyambut baik putusan DIMIA. "Keputusan itu telah menghargai hak-hak asasi manusia kami," tutur Herman, yang pernah ditahan di Indonesia dalam kasus pengibaran bendera ''Bintang 14'' pada 14 Desember 2002.

Menurut Herman, langkahnya menyeberang ke Australia didasarkan atas tindakan kekerasan dan intimidasi yang kerap dilakukan pihak berwenang Indonesia. Ayah dua anak ini mengaku kepada otoritas DIMIA bahwa sering terjadi penganiayaan dan pembunuhan terhadap aktivis kemerdekaan di Papua. Benarkah?

Panglima TNI, Marsekal Djoko Suyanto, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah mengejar 43 warga Papua yang kabur ke Australia itu. ''Saya menjamin, TNI tidak ada niatan mengejar mereka,'' kata Djoko, usai sidang terbatas di kantor Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang dipimpin Menko Widodo AS.

Indonesia bisa berkilah, tapi Australia punya keputusan. Bagi sejumlah pihak di Australia, Herman Wanggai memang punya nilai tersendiri. Warga Papua yang mengklaim dirinya sebagai pimpinan organisasi Melanesia Barat itu kerap bertemu dengan Senator Kerry Nettle. Senator dari Partai Hijau Australia ini terkenal sebagai pendukung Papua Merdeka. Kerry sendiri saat ini dicekal masuk ke Papua oleh Pemerintah Indonesia.

Reaksi keras Indonesia tidak urung memunculkan perhatian besar dari kalangan oposisi di Australia. Menurut Kim Beazley, pimpinan Partai Oposisi, penarikan Dubes RI merupakan langkah serius dan sangat mengganggu. Beazley berjanji akan meminta Pemerintah RI dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memikirkan kembali langkah tersebut.

Kim Beazley, sebagaimana dikutip The Australian, menuding Jakarta melakukan reaksi berlebihan atas pemberian visa kepada pengungsi Papua itu. Beazley bahkan meminta Indonesia mempertimbangkan kembali keputusannya untuk menarik Dubes RI di Australia. "Ini langkah berlebihan," kata Beazley.

Langkah pihak imigrasi, menurut Beazley, bukanlah berdasarkan sikap politik Pemerintah Australia terhadap Papua. Australia, kata Beazley, sejak dulu meyakini bahwa Papua merupakan bagian integral dari Indonesia. "Tidak ada sub-agenda Australia untuk melihat terlepasnya daerah tersebut. Tidak ada sama sekali," Beazley menegaskan.

Hendri Firzani, Alexander Wibisono, Arief Ardiansyah, dan Gatot Aribowo (Jayapura)
[Laporan Utama, Gatra Edisi 20 Beredar Senin, 27 Maret 2006]

0 comments:

Posting Komentar